Seperti pembuka film Vina Sebelum 7 Hari, saya akan kasih disclaimer:
Saya telah menonton film ini dan sempat masuk ke salah satu jebakan Batman yang saya tulis ini. Tapi jika pembaca yang budiman berharap saya akan memberikan spoiler film, mengklarifikasi gosip yang snowballing di twitter dan sosmed lain, atau mendapatkan sebuah kritik estetik dari film ini, pembaca sekalian membaca tulisan yang salah. Saya menolak menceritakan pengalaman menonton, karena setelah menonton film itu, saya harus maraton film-fiilm Jordan Peele dan Ari Aster, plus film-film pendek random dari Mubi, hanya untuk mengembalikan harapan bahwa masih ada masa depan untuk film berkemanusiaan di bumi ini. Tidak ada konten film yang akan dibahas di essay ini, hanya ada konteksnya.
Untuk menulis essay ini, saya bahkan harus menghubungi kritikus-kritikus hebat yang saya kenal, yang namanya baiknya tidak saya tulis di sini biar mereka tidak kena jebakan batman. Tulisan ini adalah hasil konsultasi dengan tiga orang kritikus film yang belum menonton filmnya, maka secara etis, mereka menjaga untuk tidak bicara film yang belum mereka tonton. Saya ambil tanggung jawab penuh secara pribadi dalam menulis ini. Kawan-kawan kritikus ini seperti para psikolog yang sedang mendengarkan masalah-masalah saya dan memberikan rekomendasi terapi.
Maka saya hanya akan membantu tugas filmmaker dan korporasi bioskop, untuk menambah disklaimer buat penonton yang akan jadi korban. Karena disklaimer di film cuma pembenaran filmmaker untuk bikin film, kita yang menonton tidak dipikirin kecuali beli tiketnya. Berikut adalah Vina Sebelum 7 Hari, dan 7 Jebakannya.
Jebakan 1: Film ini bukan biopik, ini horor biasa yang tidak ada trigger warning terhadap adegan sadisnya.
Buat kebanyakan orang, jebakan film horor ini seringkali dikesampingkan, karena kebanyakan penonton film horor berharap mendapatkan adrenalin kencang, jump scare, darah dan gore, serta adegan kesurupan. Tapi film ini dipromosikan sebagai horor mistik biopik, jadi harapannya adalah adanya ruang drama di film ini. Mistik biopik ini sudah dibikin sama The Conjuring, misalnya. Tapi karena mistik adalah subjektif, nama korban bukan nama asli dan tidak melibatkan realitas sosial seperti perkosaan.
Ini jebakan yang hadir di banyak film horor Indonesia, karena filmmaker kurang peka dan inklusif, serta belum ada peraturan dan perundang-undangannya yang mengharuskan trigger warning di awal film model begini. Kalah sama bungkus rokok. Ingat, terakhir kali ada horor biopik berjudul Pembalasan G30S PKI, muncul banyak kekerasan dan intimidasi ke banyak orang tak bersalah. Padahal walau darah itu merah, Jawa bukanlah kunci dan Aidit bukanlah perokok.
Jebakan 2: Film ini dapat mengaktivasi trauma untuk penyintas Kekerasan Seksual
Film ini harusnya mengandung activation warning keras, bahwa adegan kekerasan seksual, yang jikapun dibuat dengan melibatkan intimacy coordinator (koordinator keintiman untuk menjaga syuting tetap etis), dan dilakukan dengan shot-shot “aman” yang tidak mengandung ketelanjangan, tidak menggambarkan secara langsung orang berhubungan, dengan cara cut-to-cut shot close up antara tokoh pelaku dan tokoh korban, tetap bisa mengaktivasi trauma.
Jebakan 3: Film ini memakai orang yang marah setelah nonton jadi iklan gratis
Jujur, setelah nonton saya sempat marah. Tapi saya tahu, marah tidak akan menyelesaikan masalah, malah filmnya akan semakin berkibar. Maka secara personal saya ungkapkan perasaan saya ke kawan-kawan dekat yang lebih objektif dan tenang. Tidak saya bawa ke publik karena selain saya terdidik secara akademis, alhamdulilah saya juga berpengalaman secara psikologis, khususnya soal sosmed. Kalau pakai I-message, teknik yang saya pelajari dari psikolog dan ditekankan kembali di film Dua Hati Biru, saya jadi bisa bilang, “Saya marah dan kesal, karena film ini tidak berpikir dari sudut pandang korban-korban kekerasan seksual dan malah mengeksploitasi korban yang sudah meninggal dari sudut pandang maskulin dan patriarkis. Saya kesal karena beberapa kawan-kawan dekat saya selamanya akan membawa trauma mereka, dan film ini memperparah kondisi itu. Maka saya dengan niat baik mau mencegah film semacam ini dibuat lagi.
Jebakan 4: Film ini bisa membuat orang yang marah tanpa nonton, jadi kehilangan akal, dan agensi iklan gratis.
Jika kamu sudah cukup umur dan dewasa, kamu harus berpikir logis sebelum mengadili sebuah produk budaya yang terbit dengan keterlibatan banyak unsur: dari PH, lembaga sensor, dan bioskop. Kalau belum menonton filmnya, baiknya kamu menggunakan data sahih yang tersilang referensi untuk menentukan kebijakan atau opinimu. Jika tidak, jangan mengadili sebuah film atau produk budaya yang kamu tidak tonton. Baiknya bicarakan hal-hal fenomena yang kamu saksikan dan terverifikasi.
Jebakan 5: Film ini membuat orang yang nggak kritis, jadi berbahaya
Mereka yang tidak kritis adalah sasaran pertama film ini. Mereka membawa anak-anak untuk ikut nonton, atau mereka menonton untuk melihat sensasi dan berkomentar tidak senonoh soal korban, atau mereka yang melihat film ini sebagai film horor biasa dan bukan biopik (mewakili kejadian nyata), atau mereka, yang ini paling parah, yang membenarkan perkosaan dan merasa itu wajar atau bilang mau menirunya.
Jebakan 6: Film ini bisa membuat orang yang kritis jadi krisis
Film ini kebal-kritik, artinya secara estetik film ini tidak bisa dibahas karena konteksnya sudah salah dari awal. Boikot akan membuat film ini semakin laku, dan kita akan menemukan copycat-copycat di masa depan yang dapat membuat film yang modelnya sama, tanpa kena akibat apa-apa. Seperti para kepala daerah yang mulai menyusun strategi bansos pork barrel untuk kampanye, yang mereka pelajari dari Pilpres kemarin. Artinya, kita benar-benar harus konsolidasi, dan membuat penawaran rancangan kebijakan melalui diskusi-diskui publik agar film seperti ini tidak bisa dibuat lagi.
Jebakan 7: Film ini dibuat oleh ahli kontroversi dan troll kebudayaan
K.K. Dheraj adalah salah satu produser paling evil jenius di Indonesia. Dia sudah biasa dicaci maki, dikutuki, dan selalu selamat dari masalah. Dia membuat film-film dengan gimmick bintang porno seperti Terra Patrick dan Sasha Grey. Dia juga pernah memakai sembarangan Intelectual Property Rowan Atkinson untuk jadi gimmick di film Mr. Bean Kesurupan Pocong. Dan dia adalah produser yang dua kali membuat film soal Jokowi (tanpa ijin Jokowi tentunya). Dan seperti Jokowi yang berhasil memenangkan anaknya menjadi wapres dengan bermain MKMK, Bansos, dan hukum yang legal, begitulah pula K.K. Dheraj menjadi filmmaker yang mampu mengubah cancel culture menjadi iklan gratis.
Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.