Anthropology, Ethnography, Filsafat, Kurasi/Kritik, Politik, Racauan

Phronemophobia Indonesia

 

imrs

Phronemophobia adalah ketakutan untuk berpikir. Tulisan ini akan memaparkan pengamatan saya tentang hal-hal yang seringkali takut dipikirkan orang Indonesia di sekitar saya–yaitu kaum kelas menengah kota dan para pengambil kebijakan. Saya punya hipotesa mentah (artinya butuh penelitian lebih lanjut), bahwa akar kebijakan yang stereoptipikal dan kekerasan baik verbal ataupun fisik dalam dunia sosial masyarakat Indonesia adalah karena banyak orang yang terjangkit Phronemophobia. Penyakit ini hadir karena kombinasi dua hal yang paling krusial dalam masyarakat Indonesia: Agama dan Kapitalisme. Phobia seperti psikosis lain, adalah penyakit karena ia menghalangi orang untuk bekerja dan menggunakan otaknya dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Dan seperti banyak psikosis juga, ini sulit disembuhkan kecuali dengan kontrol dari si penyakitan itu sendiri terhadap egonya. Bisa jadi, penyakit ini ia bawa sampai mati.

Mungkin banyak yang heran, bagaimana seseorang bisa takut berpikir? Dalam kadar tertentu, setiap orang punya ketakutan untuk memikirkan sesuatu. Terlalu banyak berpikir bisa membuat kita depresi, bahkan sakit jiwa. Kita punya mekanisme pertahanan untuk memikirkan hanya hal-hal yang perlu kita pikirkan dan menolak hal-hal yang kita takut akan menyesatkan kita. Asal ketakutan berpikir ini adalah sosialisasi semenjak balita tentang apa yang boleh dan tidak boleh kita pikirkan yang membentuk logika dan sekat-sekat di dalam pikiran kita. Membuat sebuah trauma tersendiri dan membentuk rasa takut dan anti pada pengetahuan-pengetahuan baru.

Untuk menjelaskan secara sederhana kenapa orang takut berpikir, saya harus menjelaskan soal pikiran dan pemetaanya terlebih dahulu. Tapi cara termudahnya bisa saya ilustrasikan pada video berikut, soal belajar bersepeda. Jika semenjak kecil orang sudah belajar dan biasa dengan cara bersepeda dan koordinasinya, maka ketika ia diberikan sepeda yang stangnya terbalik (ke kiri adalah ke kanan dan ke kanan adalah ke kiri), orang tersebut akan kehilangan orientasi dan kehilangan kendali. Simak video berikut.

Bayangkan jika seorang yang sejak kecil dididik secara konservatif tiba-tiba harus membiasakan diri dengan setting dunia yang terbalik. Bayangkan juga bagaimana seseorang yang hidupnya biasanya hitam putih, tiba-tiba terjebak di dunia yang warna-warni. Betapa bingung dan betapa paniknya ia jadinya. Tesis saya sederhana: bahwasannya ketakutan untuk berpikir dihasilkan ketika pengetahuan yang disodorkan tidak bisa dimengerti. Saya bicara ini dalam konteks video di atas: bahwa pengetahuan tidak sama dengan pengertian. Pengetahuan cuma informasi, sedang pengertian membutuhkan proses pemikiran dan adaptasi. Seseorang yang tahu, belum tentu mengerti. Seseorang yang mengerti bukan hanya tahu, tapi juga bisa mengejawantahkan lebih jauh karena ia telah melibatkan lebih daripada otaknya–ia telah “menjadi.”

Saya akan membahas phronemophobia melalui dua hal: pertama dengan membahas topografi pikiran manusia melalui dasar-dasar teori Psikoanalis klasik. Kedua saya akan membahas bagaimana topografi ini bekerja untuk membuat sekat-sekat yang menghalangi pengetahuan untuk menjadi pengertian, melalui pemaparan kasar soal agama dan kapitalisme.

Topografi Pikiran

Pikiran, kata Plato, adalah hal yang paling ideal, paling sempurna. Dalam hal ini saya juga bisa bilang bahwa pikiran bisa jadi kecacatan yang paling sempurna pula. Semua mungkin di dalam alam pikiran. Dan kemungkinan-kemungkinan ini seringkali tidak logis, surreal, absurd dan kacau. Manusia diberi kemampuan untuk membuat struktur dan kategori-kategori agar tetap bisa waras. Ketika struktur dan ketegori-kategori itu sudah terbentuk, maka ada beberapa hal yang disingkirkan dan ditakutkan. Untuk memudahkan pemahaman ini kita bisa memakai topografi klasik Sigmund Freud soal pikiran, Freud membagi pikiran dalam dua topografi: vertikal dan horizontal.

freuds_model

Topografi Vertikal

Topografi Vertikal adalah sebuah tingkatan dari alam sadar, bawah sadar dan tak sadar. Alam sadar adalah tempat pikiran yang kita sadari ada. Ini kita pakai sehari-hari untuk bekerja dan berkomunikasi. Ketika kita melamun, lamunan kita adalah alam sadar kita.

Alam bawah sadar (subconscious/preconscious) adalah tempat memori kita dan khayalan-khayalan yang tidak kita pikirkan. Kita memakai alam bawah sadar ketika kita tidur atau bermimpi–yang bisa kita ingat (disebut mimpi manifes). Kita juga bisa mengaksesnya ketika kita ingin mengingat sesuatu. Jika kita umpamakan komputer, alam sadar adalah software yang kita gunakan untuk bekerja dan alam bawah sadar adalah harddisk tempat kita menyimpan data.

Sementara itu alam tak sadar adalah tempat hal-hal yang tidak bisa kita ingat sama sekali. Koma adalah keadaan tidak sadar. Mimpi-mimpi yang tidak bisa kita ingat (mimpi laten) adalah keadaan tidak sadar. Alam tak sadar adalah sebuah dimensi tanpa batas tempat hasrat-hasrat yang paling kita takutkan dipendam. Keberadaan alam tak sadar ini bisa dilihat ketika kita mengigau, atau dalam keadaan trans, atau ketika kita mengalami dejavu–merasa pernah ada di suatu tempat atau situasi tapi tidak jelas kenapa. Alam tak sadar menunjukkan dirinya dalam simbol-simbol di mimpi kita. Jika Anda pernah menonton film berjudul Inception, maka alam tak sadar adalah Limbo, dunia ide dan imajinasi tanpa batas, yang hanya bisa diakses dalam ketidaksadaran total, atau dengan hipnosis yang sangat kuat.

Topografi Horizontal

Jika topografi vertikal adalah ruang-ruang  di dalam pikiran, maka topografi horizontal adalah penghubung antara pikiran dengan kenyataan, yaitu bagian pengambilan keputusan. Jika vertikal adalah legislatif, maka horizontal adalah eksekutif. Freud membaginya menjadi Id, Ego dan Superego. Id adalah hawa nafsu dan hasrat yang dekat hubungannya dengan bawah sadar dan tak sadar, ego pengambil keputusan atau diri di dunia nyata, dan superego adalah aturan-aturan yang membatasi ruang gerak ego dan id untuk menuruti hasratnya. Saya beri satu contoh. Misalnya seorang anak ingin mengambil kue di meja (Id). Ada ibunya yang melarangnya, “Jangan! Itu buat tamu!” (superego). Ego si anak tidak jadi mengambil kue itu karena ibunya melarangnya.

Namun, neo-psikoanalis seperti Lacan bilang bahwa Id dan Superego adalah sebuah paradox dalam tubuh yang sama. Id dan superego sebenarnya saudara kembar, dua sisi mata uang yang sama. Superego sebagai aturan yang mengekang hawa nafsu (Id) adalah hawa nafsu dalam bentuknya yang lain (sublime). Ego si anak yang tidak jadi mengambil kue karena menurut pada ibunya adalah untuk memuaskan nafsu yang lain, nafsu yang lebih dalam daripada nafsu makan kue. Inilah nafsu yang masuk di alam tak sadar: nafsu untuk menjadi menurut demi cinta dan pengakuan eksistensi dari si Ibu.

Contoh lain dari paradoks Id-Superego adalah ketika orang sangat-sangat galak dan strict dalam menuruti superego-nya. Zizek memberi contoh pada pemetaan rumah di film Psycho arahan Alfred Hitchcock. Ada tiga lantai di rumah psikopat Norman Bates. Lantai 3 adalah kamar ibunya, lantai 2 adalah losmen yang ia sewakan dan basement adalah tempat ia menyimpan mayat busuk ibunya yang sudah lama mati. Lantai 3 adalah superego di mana kita bisa mendengar teriakan-teriakan ibu Norman yang menyuruhnya ini itu, lantai 2 adalah ego, dan lantai satu adalah id: kenyataan dan hasrat sebenarnya dari Norman untuk mendapatkan pengakuan ibunya dengan…menjadi ibunya. Keinginan “menjadi” ini akan saya bahas di kesimpulan tulisan ini. Dengan kata lain, lantai 3 (superego) dan basement (Id) adalah ruang berbeda, tapi isinya sama: si Ibu yang mendikte.

Phronemophobia

Setelah mengenal pemetaan-pemetaan pikiran yang sederhana dari Freud, mari kita bahas bagaimana cara orang takut dengan pikirannya sendiri. Kewarasan seseorang ditentukan dari kemampuannya membuat struktur dan kategori-kategori di alam sadarnya. Semakin kacau struktur dan kategori-kategorinya, semakin orang mengalami disorientasi, kebingungan, dan kegilaan. Tanpa struktur dan kategori-kategori di alam sadar, orang tidak akan mengenal apapun, termasuk dirinya sendiri. Di situ kemanusiaannya akan raib karena yang membuat manusia menjadi manusia adalah kemampuannya untuk mengidentifikasi dirinya sendiri, egonya. Ia bisa melihat ke cermin dan mengenal dirinya sendiri–tidak seperti binatang atau bayi yang melihat ke cermin dan tidak mengenali objek yang ada di cermin.

Jadi yang harus dimengerti pertama-tama adalah: kategorisasi adalah syarat kewarasan dan represi pikiran adalah sesuatu hal yang wajar. Membebaskan seluruh pikiran atau merepresi seluruh pikiran adalah hal yang tidak mungkin dilakukan–keduanya berarti kegilaan. Lalu bagaimana dengan ketakutan untuk berpikir; bagaimana dengan Phronemophobia?

Ketakutan adalah sebuah mekanisme pertahanan diri. Ia diperlukan untuk menjaga kita agar tidak mati. Tapi phobia bukanlah ketakutan biasa. Phobia adalah ketakutan yang dibesar-besarkan, exaggerated. Maka ketika kita bicara soal Phronemophobia, kita bicara tentang ketakutan akan berpikir yang dibesar-besarkan dengan imajinasi hasil pengalaman traumatis sejak kecil. Sebenarnya kesakitan apa sih yang dimungkinkan dari berpikir? Ternyata banyak, dan sifatnya bukan hanya mental tetapi fisik–ini bekerja secara resiprokatif, dari fisik ke mental-mental ke fisik.

Sebelum saya kasih contoh, saya akan kasih dulu pola yang saya temukan dari ketakutan berpikir di banyak orang Indonesia yang saya kenal. Saya menemukan bahwa semakin sedikit referensi seseorang, maka ia semakin takut untuk berpikir karena berpikir ternyata perlu bentuk. Tanpa referensi, maka bentuk itu akan sangat abstrak, membingungkan dan sulit dipahami. Referensi ini bukan cuma didapat secara akademis, tapi sesuatu yang diketahui melalui observasi-partisipasi. Seorang petani yang tidak bisa baca tulis pun, tidak akan takut berpikir ketika ia punya rasa ingin tahu dan tidak takut mencoba-coba untuk menciptakan sesuatu dari kehidupannya sehari-hari: dari sekedar ritual panen, sampai persilangan bibit unggul yang sederhana.

Ketakutan ini dimulai ketika sejak kecil seorang anak mendapatkan hukuman ketika ia berpikir. Ini bukan hanya terjadi ketika anak dilarang berpikir, tapi bisa juga terjadi di masyarakat yang ‘memaksa’ seseorang untuk berpikir. Hukuman berpikir tidak hanya bisa dilakukan masyarakat, tapi juga bisa dilakukan diri sendiri–yang kedua ini efeknya akan lebih parah. Contoh pelarangan berpikir oleh masyarakat sudah banyak, karena sampai hari ini masih banyak dilakukan di institusi pendidikan di Indonesia, yang lebih banyak mendikte daripada menyuruh berpikir sendiri dan menstimulasi otak murid.

Contoh kedua, banyak terjadi di negara Eropa, misalnya pada anak-anak Eropa yang bergabung dengan ISIS agar mereka bisa mengontrol pikirannya. Pikiran yang tak terkontrol itu rasanya seperti tenggelam dalam lautan pengetahuan yang penuh argumen. Begitu banyak kata, tapi kekosongan di jiwa tidak bisa terjelaskan. Kekosongan yang dibentuk oleh hasrat (Id) yang tidak terlampiaskan. Ergo, berpikir=kesakitan. Rasa ingin tahu=kesesatan. Di sinilah Phronemophobia merusak tidak hanya secara mental tapi secara fisik: ketika ia jadi kompas hidup sehari-hari, diimani sebagai sesuatu yang “paling” riil seperti Agama.

Phronemophobia terjadi ketika Agama = Konsumerisme

Jika seseorang punya alat lain untuk melampiaskan kekosongan ini: bermusik, berkesenian, menulis, beribadah (dengan ritual) maka bisa jadi ia akan stabil. Tapi kebanyakan orang lebih memilih hal paling mudah dan paling instan untuk menjaga pikiran: Agama. Yang saya maksud agama di sini bukan sekedar islam, kristen, hindu, buddha, atau agama resmi lainnya. Agama yang saya maksud juga bukan cuma sekedar ibadah ritualnya, tapi jauh lebih luas dari itu.

Agama yang saya maksud mungkin bisa diilustrasikan Geertz, “(1) sebuah sistem simbol (2) yang bekerja untuk memberikan mood dan motivasi yang kuat, mendalam dan tahan lama (3) dengan memformulasikan konsepsi tentang aturan umum keberadaan dan (4) membungkus konsepsi ini dengan aura faktual yang (5) membuat mood dan motivasi terasa nyata.”

Tapi saya menolak membahas definisi Geertz ini secara antropologis untuk menjelaskan phronemophobia. Saya hendak membawanya ke psikoanalisis. Definisi Geertz ini tidak semata-mata menjelaskan soal agama-yang-kita-tahu sebagai institusi. Lebih jauh dari itu, jika definisi ini adalah sebuah syarat agama, maka prinsip industrial kapitalistik yang membuat seseorang jadi workaholik bisa masuk. Kapitalisme (modal, uang) adalah sebuah sistem simbol yang bisa memberikan mood dan motivasi untuk hidup sehari-hari. Hidup untuk bekerja. Ada formulasi konsepsi soal keberadaan seseorang sebagai mur industri ini,  dan ada aturan umum soal keberadaan seseorang di dunia kerja. Dalam hal ini, Marx sudah mendahului Geertz untuk membuat sebuah tesis soal Agama sebagai candu yang membuat kapitalisme tetap bekerja. Namun saya, seperti Zizek, bisa membuat kesimpulan lebih jauh lagi. Kapitalisme, seperti agama, adalah ideologi. Dan Ideologi kebanyakan tidak disadari oleh pelakunya: seperti kebanyakan orang beragama merasa agamanya paling benar, kebanyakan orang konsumeris merasa ia butuh kerja untuk mengkonsumsi lebih karena ia butuh konsumsi lebih. Agamis seperti konsumeris, tidak bisa membedakan kebutuhan dengan keinginan. Kenapa saya jadi bicara agama dan konsumen, karena, ini punchline yang Anda tunggu-tunggu:

Phronemophobia akut akan diderita oleh seseorang yang hyper-relijius sekaligus hyper-konsumeris.

Jadi religius atau konsumeris saja tidak cukup untuk punya phobia berpikir. Anda harus jadi dua-duanya. Agama bisa menyelamatkan Anda dari konsumerisme. Dengan agama, Anda bisa menahan hawa nafsu Anda. Konsumerisme, sebaliknya, bisa menyelamatkan Anda dari dogma agama, karena pada praktiknya Anda harus kerja dan punya uang untuk hidup–tidak melulu ibadah. Tapi siapa yang bisa menyelamatkan Anda, ketika Anda menjadi seorang konsumeris yang religius. Di sini, phobia terbesar Anda adalah berpikir. Anda tidak mau sama sekali berpikir soal apapun, Anda hanya ingin didikte untuk belanja dan mengkafir-kafirkan orang lain yang mengajak Anda berpikir.

Hyper-religius sama dengan hyper-konsumeris, dalam artian apa yang ia konsumsi tidak melulu barang. Konsumeris di sini berarti lebih luas daripada belanja barang dan tidak sama dengan materialistis. Konsumerisme yang saya maksud adalah ketidakmampuan untuk membedakan kebutuhan dengan keinginan, dan bentuknya yang paling mengerikan adalah ‘merasa membutuhkan dunia ideal dengan memaksa orang lain’. Di sini yang orang konsumsi habis-habisan adalah kuasa (power) dan untuk mengonsumsi itu, ayat dan hadist akan ia gunakan sebagai justifikasi. Hyper-religius-konsumeris ini sebenarnya tidak baru-baru amat. Ia sudah ada sejak zaman Indulgensi Katolik sampai zaman ESQ Khofifah: Tuhan doyan duit dan dengan itu maka agama bisa mempertahankan kuasa dan kelas. Dan bukan hanya orang religius saja, orang liberal-agnostik-atheis pun bisa jadi hyper-religius-konsumeris kalau dia haus kuasa pada yang tak sependapat dengannya dan sudah merasa pintar (hingga tak bisa belajar lagi)–lihat saja para dosen postivis zaman orba yang masih mengajar di kampus-kampus dan ngotot pendidikan harus linear.

Argumen tidak akan mempan. Anda sudah terlanjur percaya pada dogma agama dan doktrin kapitalisme, yang sesungguhnya berlawanan, paradoksal, oximoronik! Logika sudah tidak berjalan sama sekali, karena pikiran abstrak itu, yang Anda tidak mengerti, dijalankan mentah-mentah. Di sini, sebagai combo relijius-konsumeris, sebenarnya Anda sudah menderita psikotik! Phronemophobic! Turunan dari phobia ini banyak sekali dan biasanya melibatkan kata anti: anti-semit, anti-LGBT, anti-liberal, anti-komunis… lanjutkanlah sendiri semua anti yang sudah terinstitusi dalam jargon-jargon ormas para-militerstik itu.

Di sini kita bisa kembali ke psikoanalisis Lacan-Zizek tadi. Seandainya agama adalah superego dan konsumerisme adalah Id, maka kegilaan dimulai ketika superego dan Id bercampur di ego yang sama. Ketika agama=konsumeris. Ketakutan utama Norman Bates, tokoh psikopat di film Psycho, adalah ketika ia berpikir soal seks dengan perempuan lain. Superegonya (dalam bentuk sang Ibu), melarang itu dengan menanamkan ketakutan-ketakutan di diri Norman soal perempuan: bahwa semua perempuan itu jahat, kecuali ibunya. Norman takut berpikir soal perempuan dan seks, maka satu-satunya cara untuk bisa hidup tenang adalah membunuh si perempuan. Norman anak baik, tidak boleh membunuh, maka ibunya yang membunuh si perempuan dengan cara ‘merasuki’ Norman. Seperti mereka yang membunuh atas nama Tuhan.

Sekarang bayangkan ketika orang gila seperti Norman Bates menduduki posisi-posisi penting di masyarakat. Inilah ketakutan khas zaman ini. Ketakutan yang membuat sebuah disparitas sosial dan kesenjangan yang lebih parah dari kesenjangan kelas. Kelas sosial yang berbeda bisa memiliki ketakutan yang sama akan pikiran. Karena itu, dalam banyak wacana publik, seringkali kita temukan opini yang sangat tidak logis dan mengancam Hak Asasi orang lain, yang dikemukakan oleh orang dengan pendidikan dan kuasa tinggi. Bukan hanya di negara berkembang seperti Indonesia, tapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat. Tonton saja debat GOP akhir-akhir ini yang anti pada Islam, imigran dan homoseksual. Anda akan paham maksud saya.

Maka saya akan menyimpulkan dengan sebuah benang merah antara topografi klasik Freud, definisi agama Geertz, kritik Kapitalisme Marx, dan Ideologi Zizek. Superego hadir sebagai mekanisme pertahanan di pikiran manusia, ia dibentuk oleh agama dan ideologi semenjak balita dalam proses sosialisasi lingkungan-masyarakat. Lingkungan masyarakat yang cacat logika, akan melahirkan segolongan mayoritas yang cacat pikiran, yaitu mayoritas yang takut pada pikirannya sendiri. Maka berpihaklah pada kebaikan untuk menyembuhkan phobia ini di diri sendiri dan di masyarakat. Apa itu yang baik?

“Jadi berani adalah baik.” Kata Nietzsche.

 

 

 

48 pemikiran pada “Phronemophobia Indonesia

  1. Ping-balik: Politik Kebodohan
  2. Tulisannya bagus banget tapi bikin saya ketawa. Menitik beratkan hanya pada kapitalisme dan agama?
    So let’s think about “aku mau punya anak tapi spermaku maunya masuk ke dubur sehingga aku bisa memiliki anak dengan cara yang berbeda?”
    “Aku tidak akan makan lagi selama hidupku, karena dahulu kalau tidak makan aku pasti dimarahi sehingga aku takut kalau tidak makan”
    Apakah pikiranku ini masih termasuk phronemophobia? lalu logika apa yang hendak saudara jelaskan?

    Setidaknya aku bersyukur bahwa aku tidak pernah percaya kepada mulut manis dan sok pintar semua manusia di dunia ini. Aku tidak akan mengutip satu kata pun dari quote hasil buatan manusia yang menurutku benar sekalipun karena menurutku, jika membenarkan esai anda itu tandanya aku percaya manusia dengan kata lain tuhanku adalah manusia?

    1. 1. menitikberatkan hanya pada kapitalisme dan agama?

      Ya.

      2.So let’s think about “aku mau punya anak tapi spermaku maunya masuk ke dubur sehingga aku bisa memiliki anak dengan cara yang berbeda?” “Aku tidak akan makan lagi selama hidupku, karena dahulu kalau tidak makan aku pasti dimarahi sehingga aku takut kalau tidak makan”
      Apakah pikiranku ini masih termasuk phronemophobia? lalu logika apa yang hendak saudara jelaskan?

      Nggak ngerti. Bisa dijelaskan konkritnya ini pertanyaan apa?

      3. Aku tidak akan mengutip satu kata pun dari quote hasil buatan manusia yang menurutku benar sekalipun karena menurutku, jika membenarkan esai anda itu tandanya aku percaya manusia dengan kata lain tuhanku adalah manusia?

      Wow, that escalated quickly. Pelan-pelan Meri. Istighfar….

  3. saya apresiasi tulisan anda “Nosa Normanda”
    butuh waktu dan tenaga untuk dapat menulis ini semua
    terima kasih juga karena sudah berani mengungkapkan
    hasil pemikiran anda

    banyak hal dalam tulisan ini yang saya suka
    diantaranya tentang
    1. seseorang yang tahu, belum tentu mengerti.
    seseorang yang mengerti bukan hanya tahu,
    tapi juga bisa MENGAPLIKASIKANNYA lebih jauh
    karena ia telah melibatkan seluruh otaknya.

    2. pengertian kosumerisme
    “ketidakmampuan untuk membedakan kebutuhan dengan keinginan”

    3. dll

    tapi ad satu hal yang ingin saya singgung
    dari contoh yang anda berikan saya bisa menyimpulkan bahwa
    keinginan (id) dan batasan/aturan (superego)

    keinginan (id) yang tidak terkendali dapat mengakibatkan konsumerisme, hedonisme, dll
    batasan/aturan (superego) yang terlalu detail dan mengekang dapat mengakibatkan kekakuan dalam berpikir/bertindak

    contohnya dari cerita anda ketakutan Norman soal perempuan: bahwa semua perempuan itu jahat, kecuali ibunya.
    aturan yang sangat mengekang ini diciptakan oleh ibunya Norman.
    padahal kebutuhan dasar manusia (id) adalah sex

    contoh lainya agama melarang untuk memelihara anjing karena xxx
    aturan yang sangat detail ini diciptakan oleh agama
    padahal anjing adalah hewan yang sangat setia pada tuannya dan lain-lainnnn

    dari hal ini saya bisa ambil kesimpulan bahwa sebenarnya manusia itu perlu self control/kontrol diri
    kalau ambil istilah pak Rhenal Kasali Self Driving
    karena keinginan (id) harus tetap ad
    dan dikontrol oleh aturan (superego)
    tetapi aturan (superego) itu harus di uji kelayakannya oleh self kontrol/kontrol diri

    contohnya Norman takut berpikir soal perempuan dan seks
    karena ia tidak memiliki self control maka Norman membunuh si perempuan
    seandainya ia memiliki self control maka ia akan menguji kembali aturan ibunya (superego)
    ketika ia menguji dan mendapati bahwa aturan ibunya (superego) salah maka ia mengikuti keinginannya (id)

    sama halnya dengan anjing, bila orang mengilkuti agama tertentu mengikuti aturan yang kurang masuk akal (superego)
    maka mereka tidak akan memelihara anjing padahal anjing memiliki banyak manfaat
    seandainya orang2 itu memiliki self control maka ia akan menguji kembali aturan itu (superego)
    masuk akal ap tidak ?? relevan atau tidak ?? sesuai perkembangan zaman atau tidak ?? dlll
    dan ketika aturan (superego) itu salah maka anda sudah tau harus melakukan ap

    nah, sebenarnya yang dapat menyebabkan Phronemophobia adalah aturan yang detail dan tidak masuk akal (superego)
    karena dapat menyebabkan seseorang menjadi bodoh dan tidak tau akan kenyataan yang sebenarnya
    tapi ini dapat di atasi dengan adanya self control/kontrol diri untuk menguji kembali
    apakah aturan (superego) itu relevan atau tidak ??

    untuk Indonesia Lebih Baik

  4. Maaf sebelumnya kak, saya setuju dengan sebagian besar pendapat ini, namun saya ingin mengoreksi dan memberitahu atau mengingatkan saja bahwa dalam islam, berpikir merupakan salah satu yang diperlukan dalam memahami islam dan seluruh kehidupan ini karena dalam Al-Quran terdapat ayat yang selalu menyuruh manusia berpikir.

    Sapi Betina (Al-Baqarah):44 – Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?

    Laba-laba (Al-`Ankabūt):43 – Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.

    Lebah (An-Naĥl):12 – Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya),

    Hal inilah yang menunjukkan islam berbeda, memahami dan mengerti bahwa manusia itu seharusnya berpikir dan bukan mengikuti dogma tanpa mengerti hujjah (argumentasi) nya. Hal ini juga yang membuat ilmu2 mulai bermunculan dengan luar biasa hebatnya di abad pertengahan yang merupakan masa kejayaan islam. Ilmu-ilmu ini yang menjadi tonggak keilmuan modern seperti pelajaran2 yang kita ketahui di masa sekolah.

    Mungkin yang anda pahami islam disini adalah islam yang kini sedang terlihat pada kebanyakan muslim terutama masyarakat Indonesia yang memang malas untuk berpikir, hanya manut2 saja pada pemikiran ulama yg sedang ramai/mainstream padahal mereka belum memahami islam yg sebenarnya dan yg sebenar-benarnya Islam adalah pada masa Rasulullah yang membuat bangsa Arab yang dahulu (dan kini) dikenal sebagai bangsa yang keras, kejam dan dihimpit dua negara adidaya (romawi dan persia), menjadi bangsa yang mulia, makmur, bermartabat, berilmu, adil dan dapat mengalahkan kedua adidaya dalam waktu yang singkat jika dibandingkan dengan kedua adidaya tersebut. Selain bangsa Arab, bangsa-bangsa lain pun telah merasakan nikmatnya islam bagi mereka dan dunia seperti bangsa Barbar, Kurdi, Turki, Mongol, India dsb. Dunia pun telah merasakan nikmatnya cahaya islam selama 13 abad.

    Mungkin jika bangsa Indonesia mengkuti Rasulullah SAW secara kaffah (keseluruhan) akan setara dengan bangsa-bangsa itu, suatu masa yang akan datang. Wallahu alam.

  5. Reblogged this on JONA MONINGKA and commented:
    Artikel yang bagus, namun saya mesti baca berulang-ulang untuk lebih memahami lagi kata-kata yg digunakan..
    Kalimat penutup yang harus selalu diingat : “Jadi berani adalah baik.”

  6. Artikel yg sangat bagus.
    Jadi inget ayah saya, kayanya dia mengalami Phronemophobia ini.
    Kalo bicara masalah bisnis, ayah saya logis sekali. Tapi pas bicara masalah agama, dia jd kurang logis, pemikiran2nya seperti terpenjara.
    Saat saya tanya: pah, kok bisa sih binatang lucu, friendly, loyal kaya anjing itu najis? Dia jawab: di kitab sucinya udah begitu, udah gitu aja. Trus saya nanya lagi: dulu kan belum ada vaksin, banyak anjing rabies yg membahayakan manusia, jd anjing itu najis karena membahayakan manusia, nah sekarang kan udah ada vaksin, gmn menurut ayah? Kemudian dia marah karena saya banyak nanya hal2 yg sudah jelas tertulis di kitab suci dan ga mau membahas lebih jauh.

  7. Tulisan yang sangat menarik. Tapi bikin mumet. Perlu 2-3 kali baca, baru ngerti, hahaha……yang penting 4+4+4+4+4+4 harus ditulis 6×4 dan jangan coba-coba berpikir untuk menuliskannya jadi 4×6 😛

    1. Tapi menurut saya, sepertinya orang Indonesia memang tidak diajarkan untuk berpikir, bahkan ketika di bangku sekolah sekalipun. Contoh yang paling gampang ya kasus perkalian siswa SD 6×4 vs 4×6 beberapa waktu yang lalu itu. Saking gemasnya saya sampai tulis opini tentang itu beberapa kali (di sini https://nadyawijanarko.wordpress.com/2014/09/23/matematika-tukang-obat/, di sini https://nadyawijanarko.wordpress.com/2014/10/22/masih-salah-obat/, dan mungkin masih ada nyerempet juga di sini https://nadyawijanarko.wordpress.com/2016/03/03/logika-kreativitas-dan-kemampuan-menyelesaikan-masalah/). Argumen yang disampaikan pun nyaris seragam juga dengan menggunakan analogi resep obat bahwa 3×1 artinya 3 kali minum obat dalam satu hari. Melihat video sepeda stang terbalik, saya membayangkan seandainya suatu hari nanti tata cara membaca resep obat diubah (misalnya menjadi 1×3), bisa-bisa bakalan banyak yang keracunan obat, nih.

      Saya memang seringkali tidak habis pikir dengan orang-orang yang sepertinya begitu takut untuk berpikir. Saya kebetulan cukup dekat dengan orang-orang dengan latar belakang sebagai aktivis kerohanian. Dan kesan saya terhadap mereka, ya itu tadi, kok sepertinya takut untuk berpikir. Yang bikin saya tambah bingung, banyak di antara mereka yang kuliah di jurusan sains (MIPA, teknik) yang harusnya lebih punya kemampuan lagi untuk berpikir. Entah apa yang salah di sini.

      Tapi saya masih belum bisa membayangkan seperti apa orang yang hyper-religious sekaligus hyper-consumptive. Kecuali kalau yang dimaksud dengan agama di sini tidak harus agama yang selama ini banyak orang kenal/pahami.

  8. Yg membuat seorang psycho cuman, suara2 dan halusinasi aneh. Yg bisa berasal dari konsumsi obat dan lain2. Atau mungkin kelainan jiwa.

    Karena banyak yg menjadi pasien di rumah sakit rsj, bukan orang yg benar2 mendalami agama maupun konsumerisme tersebut.

    Tolong boleh di riset lebih mendalam? Karena yg di tulis disini tidak lengkap.

    Thanks

  9. Pemikiran manusia tidak ada yg lain dari yg lain, semuanya saling terkoneksi, karena sifatnya saling mengonsumsi.

  10. kak nosa ini sangat pintar dan berwawasan terbuka, saya langsung jatuh cinta sama tulisannya, saya sangat berharap banyak orang Indonesia seperti kak nosa, jadi orang yang “sadar” dari apapun dan melihat dunia dengan pikiran yang terbuka .

  11. Tulisan ini bagus dan bisa menjadi salah satu penjelasan mengenai apa yang terjadi sekarang. Kapan hipotesa ini rencananya akan diuji? Apa sudah ada instrumen mengujiannya? Saya mau jadi salah satu sample penelitian ini jika dibutuhkan.

    1. Nggak tahu kapan bisa diuji, bisa juga nanti siapa intelektual yang mau saja silahkan dipakai idenya hahaha.

      Instrumen pengujian tergantung metodologi dan keilmuannya. kalau dari antrop-sosio sudah pasti wawancara dan quesioner, tapi ruang lingkupnya harus dipersempit.

      Kalo dari psikologi, jangankan Anda, saya juga mau jadi sample penelitian.

  12. Tulisan yang jernih dan tajam!

    Kemarin saya di depan para guru SD mengatakan bahwa tokoh pendidikan Indonesia adalah Cak Lontong. Karena dia lah yang (terlalu) rajin mengatakan: Mikir!

    Berani berpikir jadi agenda penting dunia pendidikan kita saat ini

  13. it’s a good article! Saya ini orang teknik, jadi ga tau banyak lah, tapi saya suka belajar sosiologi/psikologi. Artikel anda sangat bagus (y), saya dapat belajar banyak. Tapi tahukah anda tanpa anda sadari meskipun anda merasa sebagai objek yang berada diluar sistem yang sedang anda amati, sebenernya anda juga ada didalamnya.

    Dalam Topografi Horizontal, katakanlah misalnya Id anda adalah berusaha untuk influence people agar tidak mengikuti arus pemikiran mainstream (terdikte) karena anda merasa pikiran anda sudah terbuka dibandingkan orang lain (berdasarkan buku2 yang telah anda baca). Superego-nya, kalau anda memaksakan Id anda pada pemikiran orang yang mengikuti arus pemikiran mainstream (terdikte), sudah pasti anda dicap “sesat”. Ego-nya anda yg tentukan sendiri, bisa jadi anda mengurungkan niat anda sehingga Id anda tidak tercapai, atau bisa saja seperti Lacan bilang bahwa Id dan Superego adalah sebuah paradox dalam tubuh yang sama. Anda mengurungkan niat anda karena sadar penolakan ini bisa merugikan anda, anda ingin tetap diterima ditengah orang2 “mainstream” yg menolak anda ini. Jadi keinginan anda agar tetap diterima ini jg menjadi bentuk nafsu dlm bentuk lain bukan? dan Id ini terpenuhi. Ya, percaya atau tidak anda juga ada didalamnya.

    Bisa jadi anda memang bukan bagian dari orang2 mengikuti arus pemikiran mainstream (terdikte norma2/dogma2/nilai2) yg anda pikirkan, tapi tidak menutup bahwa anda menjadi bagian dari orang2 terdikte dalam bentuk pemikiran yang sama sekali berbeda, bisa saja anda terdikte oleh kebebasan berpikir tanpa batas untuk mengeksplore pemikiran2 anda oleh orang2 yang menginginkan anda berpikir seperti itu/sesuai dengan pemikiran mereka.

    Bagian kesimpulan anda terkesan terlalu terburu2 dan memaksakan agar langsung aplikatif, jadinya agak tidak tidak nyambung dengan artikel anda.

    “…. Maka berpihaklah pada kebaikan untuk menyembuhkan phobia ini di diri sendiri dan di masyarakat. Apa itu yang baik? “Jadi berani adalah baik.” Kata Nietzsche.”…”

    Kebaikan seperti apa yang kepadanya anda menyarankan kita berpihak? “jadi berani”? berani untuk berbuat apa? berani berpikir terbuka seperti anda? lalu? berani melawan dogma2 agama/aturan2 dan nilai2 mainstream yang mendikte?

    Kita hanya bisa menolak suatu nilai2 dengan menggantikannya dengan nilai2 lain yang menurut kita adalah yang benar…
    lalu apa bedanya?

    Kembali lagi, harus ada yang menjadi tolok ukur/parameter apa itu yg baik, apa yg menjadi kebenaran. Sedangkan Kebenaran itu sendiri … you know … Relative truth is all we know …

    “Kebenaran hanya ada di langit dan dunia hanyalah palsu”
    — Soe Hok Gie

    “Nobody in this world possesses absolute truth. This is God’s attribute alone. Relative truth is all we know. Therefore, we can only follow the truth as we see it. Such pursuit of truth cannot lead anyone astray”
    —Gandhi

    1. 1. Jadi keinginan anda agar tetap diterima ini jg menjadi bentuk nafsu dlm bentuk lain bukan?
      Itu namanya “represi” bung. Dan represi identitas, biasanya akan keluar dalam bentuk-bentuk lain. Kajian Psikoanalisis terhadap dua pemimpin dunia, Hitler dan Roosevelt, menunjukkan itu. Hitler adalah orang yang sangat strict, logis, teratur, tidak pernah berkata kasar, sangat sopan pada perempuan dan santun pada keluarganya. Represinya terhadap emosi bocor dan terlihat pada obsesinya dalam membantai Yahudi dan keras ketika di kantor.

      Roosevelt di rumah adalah ayah yang buruk, pemabuk, suka bicara kasar, tapi di kantor ia sosok yang tenang, strategis, dst. Ini yang kita sebut “Sublimasi” atau “Penyaluran terhadap Id yang tak tercapai.”

      Kalau Anda pernah membaca curhat remaja yang sering masturbasi kepada Dr. Boyke, saran Boyke adalah, “Coba kamu salurkan energi kamu ke olah raga.” Olah raga adalah sublimasi juga, agar Id yang biasanya dihabiskan untuk masturbasi, keluar dalam bentuk yang lebih diterima secara sosial.

      2. Jadi berani. Itu saya sengaja supaya pembaca bisa berpikir sendiri, “saya harus berani apa?” Hehehehe. Terserah butuhnya berani apa, tergantung hidup masing2 dan ketakutan masing2.

      3. Kita hanya bisa menolak suatu nilai2 dengan menggantikannya dengan nilai2 lain yang menurut kita adalah yang benar…lalu apa bedanya?

      Coba lihat lagi video sepeda. Orang yang bisa bersepeda dengan stang terbalik, masih bisa bersepeda dengan stang yang biasa. Kita tidak selalu harus mengganti nilai-nilai lama dengan baru, tapi kita bisa mengembangkannya menjadi sesuatu yang lebih berguna buat kita, orang lain, dan generasi penerus kita.

      4. Tentang yang baik. Baik dan benar itu berbeda. Anda harus baca buku Beyond Good and Evil-nya Nietzsche kalau mau tahu lebih jauh soal ini. Intinya sih, jangan takut mempertanyakan kebenaran/kebaikan yang kita percaya, karena itu memang relatif dan kita bisa jadi salah. Karena itulah maka yang paling baik adalah berani. Begitu kira2.

      Saya juga bisa jadi salah, namanya juga meracau. Hahaahahah….

      Makanya saya tulis racauanya biar bisa dibantai sama2 jadi belajar.

  14. gue berani berpikir, tapi takut dicengin lu, Noise… hahahaha

    ajarin gue lah bikin essay, ajarin gue gelisah dan tidak selesai dengan kegelisahan itu.

    10 jempol buat tulisan ini.

    1. Bikin esei tuh kayak nulis borges tapi ada basis datanya. Kadang2 cocologi jg pake dasar logika kyk tulisan ini. Ini bullshit, tapi kata Wittegenstein, tanpa bullshit kita ga punya bahan obrolan.

      Hahahaha.

    2. i see. mungkin karena itu gue lebih berani jika berada dalam kategori fiksi, soalnya basis datanya fiksi. sama-sama bullshit, tapi ga jadi bahan obrolan, soalnya udah fiksi, kecuali sama yang percaya dengan fiksi itu. hahaha

      1. nah itu dia. masalahnya gue ngerasa kalo ngomong bullshit di atas fiksi, kayak bikin istana pasir gitu penk. Ga solid dan orang seenak2nya aja tuh bisa nabok terus runtuh. Sebagus-bagusnya fiksi, balik ke selera soalnya.

        tapi kalo ada basis data realnya–entah teori, fakta, referensi yang bisa ditrace–perdebatannya bisa dimentokin. Minimal gua yang mentokin dengan ngereject komen tolol.

        *udah ada beberapa nih yang pake hina-hinaan, gue langsung reject. Bye2 daah… Hahaha… heran gua nggak ngerti kok ngambek. Oh iya, phronemophobia. Hahaha

      2. (((NGEREJECT KOMEN TOLOL))) <—— hahahahaha

        gue setuju banget dengan betapa rentannya fiksi. tapi belajar dari borges, gue mulai memakai data-data valid atau setidaknya berupa dongeng yang tercatat, tergantung kebutuhan fiksinya. dan tujuannya memang mencatut. kata borges: "Saya tidak punya pesan apa-apa, saya hanya menyalin sistem kebingungan yang dengan hormat kita sebut filsafat itu ke dalam bentuk sastra."
        sedikit banyak gue sebagai orang yang maksa pengen banget disebut penulis menyusun diri -secara tidak gue sadari- menyalin borges. sebuah salinan dari salinan. metafiksi dari sebuah pemadatan metafora yang sangat berlebihan di sebuah zaman yang jauh lebih complex ketimbang zamannya borges.

        tak ada seorangpun sepertinya yang berselera atas karya seperti itu. hahaha

        jika data lo dari zizek, mungkin gue dari borges. tapi gue taqlid buta, soalnya Borges itu ibarat Imam Syafi'i di dunia fiqh, perpustakaan suci yang bernapas. maka muncul bermacam qiyas – bertumpuk-tumpuk – sehingga akhirnya terbentuk sebuah otentisitas – yang sialnya malah gagal mahal – tidak seperti karya-karya Pollock meskipun karakteristiknya sama.

        Tlon, Uqbar, Orbis Tertius

      3. Nggak ada yang ga bisa dijual hari2 ini penk. Termasuk karya sastralu yang ngejelimet itu, tinggal dicari konteksnya dan akan laku keras…haha… apalagi menurut gue basis tekstual fiksilo lumayan keren.

  15. Pengertian anda mengenai beberapa hal yang disebut di artikel ini kurang mendalam, jadi beberapa kurang tepat. Pandangan anda juga agak sempit, dan cenderung mengeneralisir.

    Bagusnya karena dihias banyak terminologi ilmiah dan nama-nama anti mainstream ya..

    1. Anti mainstream itu apa? Freud, Marx, Geertz? Wow, Anda harus bergaul lebih banyak di kalangan yang lebih terdidik.

      Karena 3 orang itu bukan hanya mainstream, mereka juga sudah disebut “kuno”.

      Zizek pernah ngehip, sekarang sudah mainstream. Hahahaha..

      Kalo ada yang kurang tepat, silahkan dikoreksi. Kalau koreksian Anda tepat, saya akan dengan senang hati menyempurnakan tulisan ini.

      Terima Kasih.

    2. Saya agak curiga dengan pemahaman anda soal ego, superego, dan id.

      Tapi yang saya paling tidak mengerti adalah bagaimana anda mengatakan bahwa Phobia adalah ketakutan yang dibesar-besarkan: menurut saya orang dengan phobia BENAR BENAR ketakutan dengan apapun itu objek phobia-nya.

      Phobia is not exaggerated, but it actually is an anxiety disorder.

      Dari semua orang yang saya kenal, belum pernah ada yang mengidap phronemophobia. Yang MALAS berpikir banyak. Yang TAKUT merealisasikan pikirannya banyak (tapi ngga sampe dalam tahap Phobia).

      Saya khawatir anda hanya memahami sedikit-sedikit, kemudian mengembangkan dengan pemahaman anda sendiri. Jadinya misleading.

      Kalau “banyak orang Indonesia yang anda kenal” mengalami phronemophobia, dan bagi anda dan “teman-teman” anda Marx, Freud, Zizek adalah mainstream, man, you’re the one who need more friend.

      Try Facebook 🙂

      1. “Phobia is an not exaggerated, but actually anxiety disorder”–>>anda salah paham soal exagerated yg saya maksud. Exagerated di sini bukan dibuat2, tapi dibesar2kan. Ini di luar kontrol. Benar ini anxiety. Sy setuju.

        Phronemophobia ini memang belom terbukti, makanya saya bilang di awal (ada disclaimer) ini HIPOTESA MENTAH, dan cuma kecurigaan2 untuk memicu diskusi.

        “Teman2 saya” Marx, Freud, zizek? Anda ngomongin apa sih. Hahaha. Iya saya butuh teman. Saya makhluk sosial. Tp saya pilih2. Kalo temennya kayak Anda gini sih yg belom apa2, belom baca buku2nya, sudah ngusir2 saya dari lapak saya sendiri… mungkin Anda haus perhatian. Btw, Saya dulu sering diskusi di Cak Tarno Institute di UI Depok. Coba deh ke sana dan ngomongin Geertz, Freud atau Zizek, paling Anda dicengin karena kuno. Hahhahahahah…

        Nih saya perhatikan dengan mengapprove komentar Anda yg tak bermutu ini. Tolong dong bikin diskusi sehat yuk.

        Kalo nggak bisa bicara santai tanpa nuduh2, bisa jadi ini komentar terakhir anda yg saya approve. Be a good dog will you.

        Dont’t try facebook. Its emotional pornographic. Heheh. Coba cari tempat diskusi akademis beneran yang bisa bikin komentarnya lebih asik.

  16. Berani adalah baik 🙂
    Untung tidak ‘kotor itu baik’.
    Hahahaha…

    Good article. Apalagi ilustrasi yang sepedanya 🙂
    Sayangnya sebagian tidak mengerti karena bahasanya tinggi dan tingkat pemahaman saya yang belum sampai.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.