Ethnography, Politik, Racauan

Memori Ojek Pangkalan dan Monopoli Gojek

www.go-jek.com
http://www.go-jek.com

DISCLAIMER:

Dilarang posting iklan. Karena ilmu pengetahuan itu GRATIS!

Kalau Jakarta mau jadi metropolitan yang sebenarnya, Gojek harus memonopoli semua pangkalan ojek. Harus profesional, teratur, terstruktur dan meminimalisir hubungan negosiasi antara tukang ojek (yang disebut driver (supir) oleh Gojek, padahal harusnya Rider (pengendara) karena motor tidak disetir tapi dikendarai)). Akan ada kepastian harga, kepastian keselamatan (asuransi) dan tidak ada ruang main-main atau dipermainkan. Apakah kita mau? Jangan bilang mau begitu saja, itu artinya gampang digodain setan. Coba saya bantu anda dengan memori saya tentang ‘institusi lokal’ yang hendak dibantai modernisme ini.

Anggap saja namanya pak Adi (bukan nama sebenarnya). Dia tukang ojek langganan saya dari Depok-Cilandak waktu saya masih tinggal di Margonda dan bekerja di sebuah sekolah national plus tahun 2009-2011. Pak Adi ini sarjana muda dan kuliah di kampus yang sama dan jurusan yang sama seperti bapak saya. Kalau saya ngobrol sama dia, saya jadi ingat pada bapak saya.

Ada lagi Mamat (juga bukan nama sebenarnya). Dia tukang ojek langganan saya di depan rumah keluarga besar saya di Kebagusan. Selain tukang Ojek, Mamat juga suka jadi tukang parkir, tukang ledeng, tukang bangunan dan tukang lain-lain yang diperlukan keluarga besar saya. Dan dia bisa dipanggil 24 jam karena rumahnya dekat rumah saya. Saya sering ngutang sama Mamat karena jarang bawa duit kecil dan dia jarang punya kembalian. Misalnya saya minta antar Kebagusan-Pasar Minggu (10-15 ribuan), lalu uang saya 50 ribu, mamat suka tak punya kembalian dan bilang, “Yaudah bos nanti aja.” Lain hari duit saya 100 ribu dan lima ribu, saya bayar Mamat cuma lima ribu dan dia bilang lagi, “Yaudah bos, nanti aja.”

Setelah saya menikah dan hendak pindah dari rumah keluarga besar, siang-siang Mamat datang ke rumah dan menagih 85 ribu–bang Mamat tahu saya pindah karena waktu ada acara pengajian di rumah, bang Mamat jadi tukang parkir tamu-tamu keluarga saya. Ketika saya tanya detilnya itu apa saja, dia dengan gampang dan tanpa catatan mengingatkan bulan apa dan tanggal berapa saya diantarnya beserta detil berapa utang saya. Saya kasih 100 ribu, “Bunga nih, bang!” kata saya.

Mamat bilang, “Ih, Nggak ah! Riba! Jangan pake bunga dong.”

“Yaudah, kembaliin 15 rebo,” kata saya.

“Yaah, kaga ada duit kecil,” balas Mamat. “Kalo bonus saya terima dah.” Lanjutnya.

“Heum. Yaudeh-yaudeh, bonus bang.”

“Tengkyu bos.”

Itu dua tukang ojek pangkalan yang saya kenal. Dari saya kecil, ada beberapa lagi yang saya pernah cukup tahu namanya–tapi tidak usah disebutkanlah. Langganan saya waktu SD, langganan saya waktu SMP, dan langganan saya waktu SMA (saya sering pindah rumah, 12 kali selama 30 tahun belakangan ini). Tukang ojek pangkalan menemani hampir tiap fase hidup saya. Mereka yang saya kenal ini, penting di hidup saya.

Lalu nasib sebagai antropolog membuat saya bersinggungan lagi dengan tukang ojek pangkalan sebagai wacana di dalam kelas. Saya ingat seorang kawan saya Edna Caroline pernah membuat riset soal tukang ojek di UI dan gesekan yang ditimbulkan ketika UI membuat mereka terdata dan terstruktur dengan kartu, helm, dan jaket resmi Ojek UI. Lalu di kelas yang saya ajar, dua orang murid saya di angkatan yang berbeda membuat kajian antropologi tentang tukang ojek pula. Yang pertama sebuah esei antropologi oleh Agung Rino Prasetyo (2013) dan yang kedua sebuah etnografi visual berbentuk dokumenter pendek oleh Andrika Fandra Salim (2014)–keduanya belum diterbitkan.

Dari tiga penelitian tentang ojek itu saya jadi mengerti beberapa hal penting soal tukang ojek pangkalan.

Pertama, ojek pangkalan adalah sebuah struktur sosial yang rapih. Andrika dalam presentasi proposal film dokumenternya melaporkan bahwa subjeknya, tukang ojek bernama Daus, adalah salah satu pionir ojek di daerah Palmerah. Dia seorang betawi yang kehilangan pekerjaannya di tahun 1980-an, dan memutuskan untuk menjadi tukang ojek–ini bukan sesuatu yang mudah. Daus sempat hampir dipukuli karena dia tidak paham sistem pangkalan: bahwasannya dia tidak boleh sembarang mangkal di daerah orang. Ketika dia sudah paham itu, akhirnya dia membuat pangkalan ojeknya sendiri.

Dalam pangkalan ojek ada sebuah komunitas, sebuah paguyuban. Daus membuat pangkalan ojeknya sendiri berdasarkan kekosongan pangkalan di daerahnya, dan ia mengumpulkan sanak keluarga dan tetangganya untuk menjadi anggota pangkalannya. Di situ ada hukum sosial yang berlaku, ada antrian, ada bagi-bagi rejeki dan ada pelanggan-pelanggan lokal. Setiap pangkalan akan buat struktur sosialnya kalau tidak ingin ada chaos.

Struktur ini tidak main-main. Dari pengamatan saya, di daerah Lenteng agung, ada tiga pangkalan ojek yang saling bersaing. Yang pertama pangkalan arah Lenteng Agung -Depok, yang kedua arah Stasiun Lenteng-kemanapun, dan yang ketiga arah Lenteng Agung Pasar Minggu. Mereka memang tidak saling bertengkar, tapi tidak juga saling menyatu. Tidak bisa sembarang bercampur karena target penumpangnya beda-beda. Yang di tengah stasiun lenteng targetnya pengguna kereta api, sementara yang di luar targetnya pengguna angkot. Keributan seringkali terjadi ketika ada tukang ojek dadakan yang merebut penumpang tanpa mau antri atau bergabung dengan pangkalan–karena itu artinya dia tidak mau antri.

Sekarang kita punya masalah baru: pertikaian antara GoJek yang modern dengan Ojek Pangkalan. Ini logika yang tidak akan ketemu. Logika GoJek adalah logika Korporat yang ‘profesional’ atas asas kapitalisme liberal yang menggurita: dia hendak mengubah semua tukang ojek menjadi tukang GoJek, sesuai dengan tanggapan pada insiden keributan tukang Ojek dan Gojek:

“Kami memanggil semua ojek pangkalan untuk bergabung dan menikmati keuntungan-keuntungan menjadi Gojek Driver.”

Sementara logika tukang Ojek Pangkalan sederhana: jangan nyelak kalau tidak mau dijitak! Apakah ini logika kampungan, logika tidak modern, atau logika semut yang diajari sejak kita balita? Logika Sopan Santun?

Ya, memang logika sopan santun dan etika ini sudah banyak dilupakan orang karena sopan santun disalah artikan jadi mulut manis basa-basi dan penjilatan. Kalau sudah bicara sopan-santun, apalagi di Jakarta, biasanya kita langsung ingat mulut anak-anak SD (atau orang tua dengan mental anak SD) yang bilang Ahok tidak sopan. Padahal sopan santun ini bisa jadi cuma masalah permisi dan negosiasi yang apik tanpa omong keras apalagi omong kotor. Sesederhana membungkuk ketika lewat orang yang lebih tua dalam budaya Jawa. Masalahnya, Gojek nampaknya tidak perduli dengan logika ini. Ironisnya, ketika Gojek tidak [sudi] menganggap ojek pangkalan sebagai ‘saingan‘. mereka mengajak ojek pangkalan untuk bergabung. Ini skenario lama, modernisasi tipe kolonial gold gospel glory. Buat dapat emas, buatlah semua inlander jadi kristen, dan kita menang. Protestant Ethics. White men’s burden.

Ditambah reaksi netizen dan warga jakarta, juga dukungan Ahok, maka ‘penertiban’ terhadap para pangkalan Ojek ini tinggal tunggu waktu saja. Apalagi semenjak Transjek, yang berdasarkan laporan Prasetyo (2013) moda produksinya sama dengan Gojek, tidak terdengar lagi, Gojek hampir memonopoli industri ojek berteknologi (walau saingannya sudah mulai pada muncul, dan tahun depan mungkin akan dimulai sebuah perang brand). Tawaran Gojek juga begitu menggiurkan: penghasilan lebih pasti dan asuransi. Ojek Pangkalan nampaknya akan jadi sejarah; dan ini tidak pernah adil. Karena ojek pangkalan tidak terepresentasi dengan baik dan dipukul rata sebagai kelompok ‘inlander’ tanpa memperhatikan moda-moda produksinya dan spesifikasi setiap pangkalan yang berbeda-beda. Sifat korporat, birokrat dan kelas menengah yang seperti ini memang sulit berubah.

Tapi tetap ada harapan bagi Ojek Pangkalan untuk bertahan. Ojek pangkalan sering tidak disukai ketika beberapa mereka menerapkan harga seenak jidatnya. kadang-kadang lebih mahal dari taksi. Tidak ada standar tarif yang jelas. Dari sini senjata ojek pangkalan cuma satu: paguyuban. Fungsi paguyuban memang abstrak, tidak bisa diukur. Paguyuban menyediakan asuransi berupa bantuan teman/keluarga dan paguyuban menyediakan kesetiaan yang tak terhitung. Ojek Pangkalan semestinya memang guyub, penuh nepotisme terhadap saudara dan pelanggan tetap. Itu moda produksinya. Kalau ia mau bertahan, ojek pangkalan harus menyatu dengan komunitasnya dan lingkungan pangkalannya–yaitu para pelanggannya. Seperti Adi, Mamat dan Daus.

Walau saya curiga, usaha mempertahankan Ojek Pangkalan itu akan sangat sulit apalagi di Jakarta. Karena tukang ojek membludak, yang picik lebih sering kelihatan daripada yang baik: dari yang bermain harga hingga yang berlagak preman dengan memeras pelanggan atau melarang angkot beroperasi. Terlebih lagi warga Jakarta semakin individual, instan dan semakin ingin kepastian ukuran angka–seperti layaknya kota metropolis lain di dunia ini. Warga Jakarta kebanyakan tidak ingin kenal dengan Adi, Mamat atau Daus secara berkesinambungan. Mereka lebih suka memberi jempol atau bintang pada sebuah aplikasi, daripada direpotkan oleh empati.

224 pemikiran pada “Memori Ojek Pangkalan dan Monopoli Gojek

  1. wah, mas Nosa sayang sekali sudah tidak tinggal di Indonesia ya…
    padahal saya baru mau minta tolong sama Mas,
    saya seorang buruh pabrik tinggal daerah Bekasi, sudah menikah dan punya satu anak. sampai saat ini masih dalam masa bertahan, saat ini saya kuliah semester 3, jadi kondisi ekomoni sedang keser – keser. saya punya rencana (sudah lama) mau sambil ngojek buat tambahan pendapatan karena saya dulu waktu masih sekolah juga sambilan ngojek di stasiun (di kampung), maklum kalo rencana nya ga kreatif banget kan nasib kita berbeda Mas, tetapi sampai saat ini belum nemu ada pangkalan ojeg yang masih kosong (mau nambah anggota).
    Nah begitu saya denger ada gojek, saya pengen gabung karena persyaratannya InsyaAllah bisa saya penuhin. tapi setelah baca tulisan mas ini saya jadi ragu2 nih. saya tidak mau nanti dikira tidak punya etika seperti yang teman satu kerja saya katakan. karena ikut gabung gojek. (ya mungkin sebelumnya sudah ada yang komen seperti itu juga).

    Nah, yang saya mau minta tolong ke Mas adalah tolong carikan pangkalan ojeg yang masih mau nerima anggota baru dari luar seperti saya. terutama daerah Bekasi.
    atau Mas mungkin punya peluang kerja sampingan lain yang bisa saya lakukan (yang tidak mengikat waktu)?

    Tapi sayang, Mas Nosa sudah tidak di Indonesia.
    tapi ga pa2 Mas, kali aja nanti Mas balik lagi ke Indonesia tolong kabari saya ya…

    Terimakasih sebelumnya.

    1. Jangan ragu2 mas. Lakukan yang mas butuhkan untuk hidup mas sendiri. Saya cuma berbagi saja kok dan tidak ada saya bilang gojek itu jelek. Tulisan ini untuk orang2 yang suka sembarang tuduh. Saya cuma bilang ada kok tukang ojek yang baik dan ga preman. Mas jadi drivee gojeklah. Semoga selamat dan hati2 dalam bekerja.

      Untuk resiko menjadi driver gojek, mas bisa baca tulisan saya yang ini. Saya sammpe kasih peta rawan ojek pangkalannya untuk dihindari.

      http://www.jakartabeat.net/kolom/konten/memutus-rantai-kekerasan-jakarta-ojek-korporat,-modernisme-keparat-pasar-bersyarat

  2. Mas boleh minta alamat email nya, ingin sekali belajar lebih apa yg bisa dipelajari dari yg mas tau mengenai ojek pangkalan dan ojek modern.

  3. Kalo menurut pendapat pribadi saya, dimana-mana yang namanya usaha, apapun itu inovasi itu penting. Bersaing itu wajar, selalu akan ada saingan dengan ide-ide baru bahkan mereka dgn modal yg lebih besar. Sekarang gimana caranya mempertahankan pelanggan ya dimulai dr dalam.. Tukang ojek pangkalan harus berbenah diri.. Kalo mereka ngasih harga semena2 pas liat ada mau naik pake baju bagus, atau mereka kurang ramah sama orang yg makai jasa mereka, sampai mukulin angkot yg lewat di atas magrib ngangkut orang dan nyuruh orang2 yg naik angkot turun (pengalaman pribadi).. Ya kalo mereka masih gitu, gimana ga membuat citra mereka buruk?
    Saya rasa awal ide adanya gojek juga karena keluhan2 orang yg merasa tidak puas dengan beberapa ojek pangkalan, dan si pencetus ide gojek melihat peluang itu. Menurut saya ga ada yg salah dengan itu.
    Ya sekarang tinggal gimana tukang ojek pangkalan, diperbaiki yg kurang baik, yg baik dipertahankan. Ga cuma ke orang yg kenal aja, tapi orang2 baru yg mungkin bisa jadi calon pelanggan mereka kalo merasa puas naik ojek mereka.

    1. Dilla Yang Baik,
      Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena kesempatan, kata bang Napi.

      Tapi selain kesempatan, kejahatan juga seringkali terjadi karena ada pengkondisian. Peminggiran, pemiskinan, penggusuran. Saya lagi ngeliatin titik-titik rawan konflik gojek. Hampir semua daerah bekas gusuran yang jadi apartemen atau Mal.

      Dan ini bukan masalah kesenjangan sosial, atau premanisme. ini masalah kebudayaan, etnik dan (di beberapa tempat) dibawa ke agama. Keributan ini nggak akan berakhir cepat.

      Intinya, Gojek itu bagus dan baik. Tapi kurang riset pasar. Dan pasar bukan cuma konsumen seperti Dilla, tapi juga setting sosial-politiknya.

  4. Saya ingin bertanya, apakah tukang ojek akan menolak orang yang sering menggunakan layanan Gojek? Karena hal itu terjadi pada saya. Saya mencoba menghubungi tukang ojek langganan saya dan berakhiran tidak direspon terus menerus. Bukankah itu termasuk tindakan menutup pintu rezeki ya?

      1. “Tergantung tukang ojeknya. Kan beda2 manusia” 👈… Nahh ini ringkasan tulisan ini .

  5. Di Bali sekarang sudah menjamur juga gojek. Disini kendaraan umum sangat jarang dan bisa dibilang ngga ada (selain taksi). Kalau disuruh milih naik ojek atau gojek, pasti gojek donk ya. Tarifnya jelas, ridernya juga jelas.
    Bukan karena pengen mematikan rejeki ojek pangkalan, tapi kita sebagai konsumen pasti pengen yg terbaik ^.^

    1. Bagus itu! Sesuai konteks namanya. Selamat menikmati dan jangan menyerah menuntut pemerintah untuk menyediakan transportasi publik, apalagi buat Bali. Itu hak WN yg bayar pajak. Bayar pajak tho?

    2. Setuju….. Saya dulu paling sebal karena mau suruh tukang ojek submit kerjaan ke kantor kaga bisa. Kalo tunggu kurir kantor, wah bisa sampe sore, kalo mau anter sendiri? Terkenalnya macet bisa 2 jam di Mobil. Skr ada gojek, wah senengnya. Ga ada ojek yg belagu….

  6. Tulisan yang bagus. Ini memang sudah saya pikirkan sejak lama. Senang rasanya ada pendapat yang senada.

    Memang masalah Go-Jek ini adalah sebuah dilema. Di satu sisi, kita lihat dia membawa kemudahan yang didambakan konsumen (struktur, sistem, kepastian harga), tapi di sisi lain, kita juga lihat dia membawa nilai-nilai kapitalis. Siapa cepat dia dapat.

    Satu hal yang sudah pasti: Ojek tanpa teknologi atau struktur akan tergilas habis dalam waktu dekat. Bagi konsumen, kepraktisan adalah segalanya. Kapitalisme atau tidak, sama sekali tidak penting. Lagipula, seperti yang anda tuliskan, citra ojek tradisional buruk. Mulai dari sisi konsumen – harga yang tidak jelas – sampai internal ojek sendiri: membuat jadi tukang ojek itu susah. Itu juga salah mereka sendiri.

    Satu-satunya harapan untuk menyelamatkan budaya ojek yang ‘benar’, adalah dengan membuat aplikasi baru yang berbasis paguyuban, dengan syarat segala bentuk nepotisme dalam ojek tradisional dihapus. Tapi rasanya, syarat itu tidak akan mudah terpenuhi.

    1. Paguyuban pasti nepotisme. Sesuai dengan sinonimnya: kekeluargaan. Dan saya rasa budaya Ojek tidak ada yang benar atau salah. Cuma biasanya kan aturan mainnya guyub tadi yang dibagi-bagi berdasarkan letak geografis. Seperti trayek angkot atau bus, begitu. Ojek Online itu kan seperti angkot yang sembarang ngetem. Cuma bebas temer, dan bebas pungli. Terus mereka masih nanya kenapa pada marah? hahahaha. Logika yang lucu.

      Kalo menurut saya solusinya adalah pemetaan transportasi publik yang benar oleh pemerintah. Masyarakat sudah dibiasakan oto-pilot. Pemerintah tidak memenuhi kewajibannya memenuhi transportasi publik yang baik. Bus2 jelek dibiarkan beroperasi, angkot-angkot dibiarkan kejar setoran dengan boleh angkut penumpang dimana saja. Apa gunanya halte? Apa gunanya pangkalan?

      sementara ojek pangkalan beroperasi dengan sistem yang semestinya dipakai transportasi publik: pangkalan dan pembatasan wilayah kerja.

  7. Yaudah kalian yg belakan masing2 pihak coba saja jadi tukang ojek atau gojek, rasakan pait saat dikecewakan pelanggan ojek atau perusahaan g*jek, kalian hanya melihat luar nya saja bukan daleman nya hahaha, mohon maaf apabila cara bicara saya sedikit lelucon😁
    *Tukang Ojek Pangkalan Mungkin Sudah Pernah Sebelum nya Bergabung dengan G*jek, makanya mereka kecewa/sakit hati dengan pihak2 tertentu Oleh Perusahaan lalu cerita dengan rekan yg satu ke rekan yg lain sesama ojek dan timbul lah masalah saat ini, kenapa dikantor g*jek setiap hari nya selalu ada yang ingin bergabung bahkan sampai puluhan dalam sehari, tetapi kenapa disetiap pangkalan Ojek masih ada yang tidak menggunakan jaket G*jek #logika aja siapa yang tidak tergiur awal nya dengan jadi driver G*jek??? Tetapi mereka/teman nya yg dikeluarkan sudah sangat kecewa dan sakit hati di tuduh yg tidak2 *Fakta* coba kalian riset sendiri hahaha jgn yg bagus bagus aja cerita nya, dengarkan keluhan mereka yg lama dengan yg baru, karna manis diawal lalu sepah dibuang hahaha

  8. Mohon maaf sebelumnya klo kata2 saya tidak terstruktur seperti anda2. Karena pendidikan saya biasa saja. Saya hanya menyampaikan pengalaman dan komentar yang ada dibenak saya.

    saya sudah hampir setahun jobless, dan ketika saya melihat tukang ojek pangkalan disekitar U*, saya tertarik untuk bergabung. Namun pada saat saya menanyakan informasi bagaimana cara saya bisa menjadi tukang ojek kepada salah satu orang yang saya kenal, jawabannya “sudah penuh” dengan penjelasan yang dapat saya terima.

    saya pun ditawari untuk coba di pangkalan yang menurut mereka asramanya cukup ramai tapi tukang ojeknya sedikit, namun jawaban yang saya dapat sama. Saya pun bercerita kepada kenalan saya diatas, dan penjelasannya cukup membuat saya sedikit kesal. Pangkalan tersebut memonopoli daerah sekitar asrama tersebut. Mereka tidak mau ada tambahan anggota, padahal anggota mereka tidak sampai 10orang. Dan mengenai paguyuban di ojek pangkalan, kita jadi tukang ojek mau cari uang, tapi untuk jadi anggota, saya harus membayar sejumlah uang yang menurut saya cukup besar dengan keadaan dimana saya ingin bekerja sebagai tukang ojek.

    saya disini bukan ingin mengatakan siapa yang benar dan siapa yang salah, mana yang bagus dan mana yang jelek. Tapi dengan adanya ojek berbasis IT (gojek/grabbike) hidup saya tertolong. Yang saya ketahui dari ojek pangkalan, mereka tidak suka dengan sistem bagi hasil (80:20). Namun dari sisi saya, itu sepadan. Karena saya tidak perlu membuang waktu menunggu konsumen.

    kembali lagi, rejeki sudah ditetapkan oleh Tuhan yang maha esa. Bahkan menurut ulama, dari kita masih benih rejeki kita sudah diatur oleh Tuhan. Jadi jangan kita selalu mengatakan gara2 ojek online rejeki jadi berkurang. Kadang dari diri sendiri yang menutup pintu rejeki, contoh tukang ojek yg suka judi dan mabuk, trus gara2 kelilit utang. Pas ada konsumen, tiba2 ngerampok. Hal ini yang jadi pemicu konsumen beralih ke ojek online yang sudah tersistem yangjauh lebih aman dan nyaman.

    Dengan adanya gojek, sudah banyak lho orang2 yang berubah hidupnya. Ada yg akhirnya bisa bantu ortunya dikampung dan dia dikota kuliahnya mandiri g menggantungkan uang dari ortu, ada yang akhirnya bisa buka usaha dari hasil nabung uang yg didapat dari gojek,dan masih banyak lagi.

    hal positif seperti ini seharusnya kita beri dukungan, ini merupakan jalan keluar mengentaskan kemiskinan mengurangi angka pengangguran. Jangan sekali-kali berharap dengan ganti presiden, angka kemiskinan bisa berkurang

  9. Ini Indonesia ya….
    Hmm.. Negara berkembang…
    Hmm… Teknologi…
    Hmm… Kapitalisme…
    Modern vs kuno ya ?

    Gojek vs ojek pangkalan
    Hmm..
    Miris juga.. Ya.. Bertahun tahun loh.. Jadi Ojek hmm…

    Hmm.. Negara berkembang..
    Ya mau ngga mau ya… Iya perkembangan zaman ya di ikutin…

    Masalah di tidak sekolah atau sekolah… Dan juga tak mampu belajar…
    Buat saya.. Org malas ya ngga mau belajar. ( kata guru )
    Buat saya.. Org malas ya ngga mau berusaha ( kata orang tua )

    Buat saya ngga ada.. Kata malas buat belajar… Kalo dia mau belajar.. Dia bisa.. Dan diajarkan oleh muda-mudi Indonesia siapa aja dan kapan aja… Dan di mana aja.. Saya rasa… Dia nya malas..

    Dari beberapa fakta pangkalan ojek yg tingkat sekolah dasar dan juga yg ngga sekolah pun.. Mau buat belajar… Apa ini apa itu.. Dan nyatanya dia bisa tuh.. Dia mau belajar kenapa mereka tidak ?

    Ini indonesia bro perkembangan zaman.. Mau ngga mau.. Zaman makin berubah…

    Oh lupa saya . saya ngetik apa nulis ya saat ini ? Ngetik berati hp/komputer : nulis berati ya buku.

    Berati saya ikut modern ya ?
    Soalnya saya pakai handphone dan menggunakan internet..
    Sedangkan buku sudah kuno..

    Loh loh..
    Berati org yg bikin blog ini.. Modern juga.. Ya wah wah.. Keren uy…

    So.. Yg lu nilai kan 3 orang pangkalan ojek.. Di banding gojek ( nama suatu perusahaan yg bekerja beberapa anggota dan karyawan )

    Ya jauhlah 3 banding 10rb

    Ada yg bilang ngga selamanya driver gojek ada yg baik
    Dan juga ada yg bilang ngga selamanya pangkalan ojek itu jahat..

    Yg lihat kan ngga satu ngga dua orang bro…

    Masalah penjualan itu tergantung kualitas..
    Kalo pangkalan ojek yg tiga itu emang baik ya pertahankan.
    Agar dinilai mata masyarakat ngga buruk..
    Tapi balik lagi mas bro..
    Pangkalan ngga cuma satu .

    Yang heboh di media kan.. Karena berbuat anarki.

    Buat saya si.. Kalau memang mau di apus.. Itu kan hak pemerintah.. Nama juga pemerintah yg bekerja melindungi masyarakatnya agar tidak terjadi lagi anarki..

    Intinya.. Kenapa dia ngga mau belajar ? Malas ? Dan juga kenapa kamu tidak ajarkan mereka ?
    Hanya bikin blog ini? Jika kamu ada rasa empati dengan mereka ? Apa tindakan kamu.. Untuk mereka.. ( menurut saya sih bagus blog yg kamu punya . tapi langkah kedepannya ada ngga ? Buat mereka mereka ? )

    Kita boleh empatik lalu tindakkan kita ada ?

    Cuma masalah zaman – belajar

    Melawan kapitalis ya belajar
    Bukan egois..

    Jual ya kualitas
    Minat ya pembeli

    Sory bro
    Cuma numpang yak..

    Saya cuma ingin tau.. Tindakan kamu untuk mereka itu apa..
    Dan adanya ini..
    Membantu mereka..itu apa..

    Agar kita menyadari.. Untuk hal ada ini melawan kapitalis ?

    1. suseh nih jawabnya nyari tanda tanyanya. nggak bisa straight forward aja ya.

      “Dia mau belajar kenapa mereka tidak ?”
      Silahkan ditanya pada ‘mereka’.

      “saya ngetik apa nulis ya saat ini ? ”
      Menurut google, Mengetik adalah menulis melalui mesin tik atau komputer.

      “Berarti saya ikut modern ya?”
      tergantung di kepala anda apa arti ‘modern’, dan nulis apaan. Kalo anda nggak ngerti/pernah baca kajian modern anda nulis “O(*^NBLKH&*ou” apakah anda modern?

      “Kenapa dia nggak mau belajar?” tanya dialah. saya ga pernah nanya.
      “malas?” Kayaknya nggak. Mamat rajin kok kerjaannya banyak.

      “kenapa kamu tidak ajarkan mereka?”
      Ajarkan apa, bagaimana pake smarphone. Si mamat hpnya nokia lama tuh. Lagian nggak sopan banget ngajarin orang tua yang nggak minta diajarin.

      “Hanya bikin blog ini?” Nggak kerjaan saya banyak. Ini blog pribadi, iseng.

      “Jika kamu ada rasa empati buat mereka apa tindakan kamu untuk mereka?” Kalo mereka butuh bantuan keluarga saya pasti bantu, kalo butuh gula dikasih, biasa tetangga.

      “Langkah ke depannya ada nggak?” ada nih lagi nulis lagi, tunggu ya.

      “buat mereka?” yah nanti kalo ketemu.

      “kita boleh empatik lalu tindakan kita ada?” mungkin kenalan, bergaul. tanya dengan sopan, ‘kenapa abang ga mau belajar?’

      “untuk apa melawan kapitalis?” biasanya sih untuk mempertahankan lapak. kayak suku2 pedalaman di hutan konservasi, atau kayak ibu2 di rembang yang rumahnya digusur buat pabrik, atau kayak tukag ojek yang kerja di rumah terus disuruh kerja di luar lingkungan rumah dengan koneksi global.

      Terjawab? coba nanyanya sambil piknik, jadi saya enak baca komentarnya.

      1. Wkwkwkwkwkwk…

        Kayanya dia ga jawab lagi karena ga tau ada balasan. Ga tau ada balasan karena ga dicentang untuk “Beri tahu saya komentar baru melalui email.”. Anyway, lucu juga pertanyaannya & bagus juga cara jawabnya. Ada 2 kalimat buat saya tepat untuk menjawab komentar di atas, yaitu:
        “Jangan menjawab orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan engkau sendiri menjadi sama dengan dia.” (Tetapi)
        “Jawablah orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan ia menganggap dirinya bijak.”

        Siapa berpikir bijak mengerti akan rahasia kalimat-kalimat di atas.

        Btw, saya juga ga centang checkmark di bawah yang mengatakan “Beri tahu saya komentar baru melalui email.”, kalo perlu aja kapan-kapan berkunjung lagi.

        xD

  10. Bukan hanya mas saja, saya juga tidak berniat mengerdilkan jasa para tukang ojek lokal yang dulu mengantar saya pulang sekolah, walaupun istri dan ibu saya juga pernah menggunakan Gojek. Bahkan saya yakin, tidak terbersit sekalipun dalam pikiran pendiri Gojek untuk merampas rejeki apalagi membumihanguskan kehidupan orang-orang kecil ini. Tetapi saya memang sudah menduga bahwa argumen seperti tulisan mas memang akan muncul.

    Bagi saya, membandingkan Gojek vs ojek pangkalan sebagai “kapitalis liberal” vs “kearifan lokal” menurut saya agak bermasalah, walau tidak sepenuhnya salah. Misalnya: saya ingat ketika di Bandung taksi Blue Bird mulai masuk, supir-supir taksi lokal (yang notabene berada di bawah bendera ‘korporasi’ juga) yang memakai argo kuda melakukan perlawanan yang lebih mengerikan: taksi Blue Bird dibakar. Argo kuda ini, tentu saja adalah “kearifan lokal”: anda bernegosiasi harga seperti di pasar tradisional, bukan membayar dengan harga pas dan tinggal gesek atau transfer e-banking. Anda harus mengerti pola pikir supir dan pasaran tarif taksi lokal supaya bisa sama-sama untung. Ya, ini memang budaya lokal, sesuatu yang (mau tak mau) harus dihormati jika anda (terpaksa) berhadapan dengannya. Tepat seperti kata anda tentang “paguyuban” ojek pangkalan: harus saling kenal, harus permisi jika tidak mau bentrok, tahu sama tahu soal harga. Tetapi apakah memang “arif”?

    Kemudian moda transportasi lain seperti angkot, kopaja, metromini dan bus kota (pendeknya: angkutan umum selain Transjakarta dan KRL). Saya pernah berargumen dengan sepupu saya yang tinggal di Canada: menurutnya supir angkot dan metromini di sini lebih ramah dan suka menolong daripada supir bus di Canada. Saya balik tanya, apa pernah dia dipanggil dengan sebutan “Sewa, sewa!” oleh kenek metromini? Apa pernah ia disemprot “Ibu kalau mau cepet naik taksi aja!” oleh kenek atau supir yang ngetem terlalu lama? Apa pernah ia dihalang-halangi, diserobot, bahkan diserempet oleh mereka? Memang mereka bisa ramah bahkan memberi diskon pada penumpang kalau kebetulan kenal, satu suku atau berkerabat. Anda tentu tahu kenapa ada supir tembak, karena banyak supir resmi yang ‘mengontrakkan’ angkotnya pada kerabatnya yang bahkan belum punya SIM, demi tolong-menolong antar handai taulan. Memang begitulah budaya lokal angkutan umum kita, tetapi apakah itu “arif”?

    Saya berpendapat hal itu memang “arif” jika dipandang dari sisi si tukang ojek atau paguyubannya. Ketika ada pihak luar yang datang, mereka harus tunduk pada sistem yang sudah mereka berlakukan. Pihak asing ini harus bersimpuh minta permisi. Inilah sopan santun yang anda bicarakan: memang arif, tetapi hanya dari sudut pandang “saya layak menerima hormat”, bukan “saya harus menghormati orang lain.” Seandainya para supir dan tukang ojek itu juga melakukan yang kedua, tentu tidak akan ada supir tembak tanpa SIM, ojek tanpa helm, dan korban lalu lintas yang berjatuhan akibat perilaku berkendara mereka.

    Kalau dipikir-pikir, bukankah kendaraan taksi (argo kuda), minibus angkot, mikrobus, dan juga sepeda motor para tukang ojek pangkalan itu, adalah produk korporat kapitalis liberal asing yang kafir, bahkan mantan penjajah (Jepang)?

    Kemudian soal “struktur” ojek pangkalan yang menurut anda luar biasa itu. Saya melihat anda menganggap Gojek sebagai pihak yang merasa dirinya terpelajar dan merasa berhak menertibkan ojek yang kurang ajar, tetapi tidak menyadari bahwa ojek pangkalan mempunyai sistem yang tak kalah canggih. Anda menganggap Gojek seperti conquistador Spanyol (atau meminjam istilah anda: kristen bule) yang mengira orang asli Amerika (Indian) adalah suku barbar yang terbelakang, sampai mereka menemukan megapolis Tenochtitlan dan Chichen Itza milik suku Aztec dan Maya, yang notabene adalah para tukang ojek lokal.

    Menurut saya pada dasarnya manusia memang suka berkumpul dan berorganisasi. Sadar atau tidak mereka akan membuat sebuah sistem bermasyarakat yang tentu saja ada aturannya. Bagi anda yang berlatar belakang akademis tentu saja secara otomatis akan membuat logika tentang sebuah “struktur organisasi” yang rapi dan canggih, betapapun cairnya struktur itu. Lalu menganggapnya sebagai budaya yang adiluhung. Padahal mungkin bagi mereka yang anda jadikan objek penelitian, sebetulnya biasa-biasa saja.

    Maaf mas, tetapi saya rasa penggambaran anda tentang konflik ini terlalu berlebihan, dan saya takut mungkin akan memicu reaksi yang tidak diharapkan dari kalangan tertentu di masyarakat. Mereka akan berpikir teori konspirasi (sesuatu yang seharusnya tidak ada diantara, dan tidak disulut oleh kalangan akademis seperti kita) yang menyinggung kelompok atau bahkan suku dan agama tertentu. Sebagai antropolog anda tentu tahu bagaimana mudahnya hal-hal seperti itu menyebar di masyarakat kita, bahkan diantara kelas menengah atas yang melek teknologi.

    Apa yang perlu dilakukan menurut saya adalah seperti taksi argo kuda di Bandung: berbenah diri. Mereka mulai disiplin dengan argometernya, disiplin berkendara dan bahkan berseragam. Saya berani mengatakan bahwa lebih aman naik taksi di Bandung (merek apapun) daripada di Jakarta sekarang. Tidak ada yang bergabung dengan Blue Bird, tetapi mereka membenahi sistem mereka menjadi lebih baik. Semua ini gara-gara ada pesaing yang lebih besar.

    Saya sependapat bahwa undangan Gojek untuk para tukang ojek bergabung terkesan frontal, bahkan bunyinya agak “vulgar” bagi orang-orang yang merasa nyaman dengan otoritas pangkalannya. Tetapi itulah kreativitas anak muda. Lagipula mereka melakukan itu dengan pola pikir untuk menyejahterakan tukang ojek juga. Daripada menghembuskan prasangka kolonial (“Gojek menjajah tukang ojek untuk memperbaiki kehidupan mereka”), saya pikir yang terbaik adalah mas dan teman2 antropolog yang begitu sayang dengan tukang ojek lokal ini turun untuk mengedukasi mereka sehingga memberikan pelayanan yang baik, atau menemukan cara-cara yang tak kalah kreatif untuk menjaring pelanggan lokal.

    Demikian masukan saya. Salam.

    1. Halo Tyo,

      Kamu benar sekali dan sejauh ini kamu yg paling mengerti saya. Hahahahaa.

      Saya sama sekali tidak pakai kata “kearifan lokal” dalam tulisan ini. Saya hati2 sekali dengan kata itu.

      Saya sedang bikin tulisan lanjutan soal ini, intinya begini:

      Butuh berapa banyak antropolog untuk turlap mendamaikan ojek dan gojek? Mungkin lebih dari 500an orang. Karena ojek menyebar di seluruh wilayah cakupan gojek. Ini masalah semua tukang ojek yang gaptek dan sudah tak bisa belajar. Ini manusiawi, seperti seorang profesor yang tidak bisa pake internet, atau seorang mahasiswa perantauan yg tidak bisa ngejar mata kuliah karena di kampung tidak diajarkan. Banyak fakta bahwa ada orang2 yg tidak lagi bisa belajar, karena itu modernisme menyebar mulai dari generasi baru.

      Nah, di sini wacana poskolonial masuk. Dari sisi tukang ojek yg merisak gojek, muncuk narasi2 kepahlawanan lokal. Ini fakta, bisa dilihat misalnya di kalibata. Dan ini bukan karena tulisan saya.

      Friksi/gesekan seperti itu otomatis keluar ketika sistem paguyuban dalam ruang geografis tersudut oleh sistem kapitalis dalam ruang jaringan internet yang lebih cair.

      Ibaratnya begini: kamu biasa dagang nasi uduk di rumah, tiba2 ada restoran nasi uduk yg bisa antar kerumah dengan app saja, harga lebih murah. Restoran itu nyuruh kamu gabung sementara kamu lebih suka kerja di rumah. Dan kamu ga tertarik belajar app. Dan kamu juga sudah melakukan itu puluhan tahun. Sebel kan?

      Ada solusi di sini:
      1. Kirim tim antropolog/sosiolog. Bukan buat mendamaikan tapi untuk kumpulkan data kualitatif/kuantitatif yang lebih akurat daripada saya atau wartawan.
      2. Ubah sistem korporasi dan pro-aktif kan kelembagaan lokal sesuai dengan data2 yg didapat.
      3. Ini harus jadi bagian CSR korporat.

      Kira2 begitu. Semoga membantu pemahaman kita masing2.

      1. Ada beberapa pandangan dari sesama netizen, kelihatannya mereka juga sudah membaca tulisan mas:

        http://ardisaz.com/2015/06/15/gejolak-layanan-gojek-yang-merombak-kultur-dengan-teknologi/

        https://imedimud.wordpress.com/2015/06/19/gojek-vs-ojek-inovasi-kapitalis-gurita-vs-paguyuban/

        http://www.pramoctavy.com/2015/07/gojek-ojek-pangkalan-dan-kapitalisme.html?m=1

        Btw soal ojek generasi tua yg tidak bisa belajar hal baru dan merasa tidak berdaya melawan kapitalisme, umumnya (dan awalnya) memang begitu. Tapi saya melihat banyak pengecualian di bidang usaha lain. Orang2 “kuno” ini survive bukan karena terpaksa belajar teknologi, atau melawannya, tapi berinovasi dengan apa yg dia ketahui, entah dia tahu sendiri atau diajarkan anak2 muda yg peduli pada mereka. Ingat soal taksi argo kuda: mereka tidak lantas pakai GPS atau bisa bayar pakai credit card seperti blue bird. Mereka hanya menstandarisasi pelayanannya sehingga lebih bersahabat bagi customer.

      2. Terima kasih. saya butuh link2 itu karena saya hanya bisa lakukan pembacaan jauh.

        Soal generasi tua yang survive, ada yang seperti kamu bilang memang tapi kebanyakan yang saya dapatkan dari pengalaman lapangan saya (di merapi, ambon, lampung dan flores) mengenai orang-orang marginal vs modernisme, survivalnya lewat paguyuban. Inovasi sulit untuk masuk karena butuh tahap2 tertentu, harus diajari dari kecil sementara infrastruktur tidak ada atau tidak memadai.

        Para tukang ojek yang menolak gojek biasanya berpendidikan rendah, atau kalaupun sampai sarjana muda, sekolahnya tidak mendidik dia untuk jadi inovatif karena lingkungan sosialnya juga yang membuatnya terkungkung.

        Akhirnya muncullah wacana poskolonial ini. Dan ini tidak bisa dilihat dari kacamata inovasi industrial. Dan ini tidak apple to apple dengan taksi argo kuda. Taksi argo kuda– tolong betulkan kalau saya salah–tidak tergantung spatial geografis seperti ojek pangkalan.

  11. Tulisan yang bagus mas. Tapi sayang belum ada solusi yang diberikan dalam postingan ini ya mas.

    Sangat disayangkan postingannya lebih mengkritisi sesuatu yang bagus tanpa solusi.

  12. Pagi mas Nosa,
    tulisan mas ini cukup bagus dan mengena sekali, saya sepakat bahwasannya pangkalan ojek dan ojek konvensional merupakan suatu “kearifan lokal” di Indonesia utamanya di Jakarta, dimana menurut saya tidak sepantasnya suatu “kearifan lokal” tersebut digerus oleh kapitalisme modern semacam Go-Jek atau grab bike. Bahwa betul memang ojek pangkalan juga sudah memiliki sebuah sistem yang cukup baik dengan sistem paguyubannya.

    Menurut saya juga tidak patut juga ketika pemerintah malah mengandalkan Go-Jek dan gubernur malah menyuruh para pengojek gabung ke dalam Go-Jek. Terdapat suatu sistem pola pikir yg tidak tepat dalam sistem pemerintahan kita, sebagaimana menurut ilmu yg dulu sempat saya pelajari di ruang kelas waktu saya kuliah hukum dulu, bahwa sistem negara kita menganut sistem “welfare state” dimana artinya negara harus turut ikut campur tangan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, disini negara dapat diartikan “pemerintah” sehingga menurut saya seharusnya pemerintah sadar dan berusaha untuk menengahi kedua entitas tersebut atau yang dalam hal ini adalah ojek konvensional dan ojek modern (Go-Jek atau Grab Bike), bukannya pemerintah hadir dan malah membela salah satu pihak, dimana hal ini justru mencederai asas “welfare state” tersebut.

    Terakhir, saya mohon izin untuk turut megshare tulisan dari mas Nosa ini.

    Terima kasih mas

    1. Tentang ‘kearifan lokal’ apa aja ya yg bisa memenuhi syarat sesuatu bisa di sebut ‘kearifan lokal’ ?!? 😏

  13. Saya berharap para tukang ojek seperti mamat, adi dan daus yang baik hati dapat beradaptasi dengan perubahan yang ada atau malah berevolusi.

  14. Ini tulisan ngga mutu banget. Akhirnya menyudutkan golongan golongan tertentu. Ditulis dan disimpulkan Cuma dari data dan pengalaman 2 tukang ojek. Modernisasi itu jangan selalu diperspektifkan dengan kapitalisme, dunia barat, agama kristen dll. Modernisasi dan kemajuan diciptakan untuk memudahkan dan membuat hidup manusia lebih baik. Anda tidak berbeda dengan orang orang bodoh yang suka buat comment di dunia maya kalau ada hal buruk apapun yang terjadi di negeri kita dikatakan pasti ulah Amerika. Kerdil pikiran begitu. Sebagai orang Indonesia saya malu melihat pendapat rendahnya anda. Buka wawasan dan cakrawala. Jangan semua modernisasi dilihat negatif. Internet dan blog yang anda gunakan juga bagian modernisasi biar anda paham

    1. Mas piknik mas. Saya ga ngomongin internet, blog apalagi bilang modernisme itu negatif.

      Sing sabar ya mas. Internet emang suka begitu apalagi kalo bacanya buru2.

  15. Pengalaman Mas Nosa dengan ojek pangkalan yang baik saya menemukan hanya dua orang, yaitu ojek langganan saya depan rumah. Ojek pangkalan lainnya suka “merampok”, harga sudah sepakat a tiba-tiba jadi c. Nyeseknya di situ sih. Ada dua sisi sebenarnya. Kalau ojek yang sudah kita kenal kita mau tambahin untuk bantu mereka dengan senang hati, tapi saya juga butuh Gojek jika memang terpaksa ngojek di luar wilayah saya.

    1. Terima kasih kang. Tapi siapa sih kita dibanding pakar hukum? Saya, misalnya, cuma antropolog yg bergaul sama tukang ojek. Mbisanya ngasih masalah. Nggak ngerti hukum saya. Ngertinya sopan santun dan etika dalam konteks sempit saja. Hehehe.

      Bedalah sama orang hukum korporat. Kan mereka ga perlu dengerin suara2 orang kecil. Pokoknya orang kecil ya manut aja, lha bodho2 kok. Kalo ngelawan dibilang preman.

      Kebetulan yg kenal langsung hanya 2. Tapi saya sudah paparkan beberapa penelitian yg juga menunjukan bahwa ojek pangkalan punya sistem dan perlawanan yg terjadi biasa saja ketika sebuah kebiasaan hendak didobrak.

      1. Hihi, berarti kurang pengalaman. Tidak semua hal bisa dijelaskan dari satu sisi ilmu saja Mas. Sering-sering bergaul dan membaca itu penting. Jadi tidak menjadi katak dalam tempurung hahah.

        Maafkeun salah ketik mulu, maklum bukan orang pintar-pintar amat. :p

      2. Sama. Kayaknya cuma orang hukum dan orang bisnis yg pintar2 amat sampe ngegampangin hidup orang. Saya kenal dua dan cukuplah buat saya belain temen2 saya biar ga dituduh melakukan dosa yang dilakukan orang lain. Sederhana saja lah saya.

      3. Betu Mas. Saya juga paling anti menyamaratakan segala hal. Tidak semua ojek pangkalan jahat, tidak semua ojek Gojek baik. Berpendapat kalau cuma berdasarkan dari satu bidang ilmu akan terlihat lemah. Boleh menggunakan satu bidang ilmu, tapi tetap santun dan terbuka dalam menanggapi suatu masalah, tidak mati-matian bahwa A itu A, B itu B. Matematika yang ilmu pasti aja ada pembaharuan apalagi ilmu sosial yang cair.

  16. Halo mas Nosa. Mau tanya, mas pernah pakai aplikasi Go-Jek? Kalau pernah bisa disebutkan berapa kali dan apa untung dan ruginya bagi konsumen maupun ojek jika bergabung dengan Go-Jek?
    Apakah mas juga tahu Grab Bike? Sudah pernah coba juga belum? Cobain deh terus dibandingkan dengan Go-Jek.
    Apakah mas seorang pembenci kapitalisme? Maksud saya seperti mereka yang mengusung ide anti-kapitalisme atau apa? Saya agak awam soal kapitalisme.

    1. (1) saya pernah pake gojek buat kirim barang dan puas.
      (2) Konsumen untung, soal ojek coba cek komentar sebelom2 ini, kalo ga salah ada driver gojek yang mantan ojek komen.
      (3) Tahu. Belom pernah coba. Nggak bisa nyoba, saya sudah gak tinggal di Indonesia.
      (4) Saya tidak membenci Kapitalisme. Saya mengkritik biar semua maju. Mungkin mas bisa cek dulu apa itu kapitalisme, coba lihat di Wikipedia.

  17. Di Bangkok, pangkalan ojek ada di hampir setiap gang (soi) dan stasiun kereta listrik (BTS) dan kereta bawah tanah (MRT). Yang paling menarik adalah sistem seragam pakai rompi bertuliskan gang atau wilayah pangkalan ojek yg dikenakan para pengendara ojek.

    Kemudian penumpang dan pengendara ojek antre dengan tertib pada jam sibuk. Pengendara ojek hanya mengantar penumpang ke tujuan utama terdekat (biasanya dari suatu gang ke BTS/MRT/mal/kantor/bioskop terdekat) lalu akan segera kembali ke pangkalan utk mengangkut penumpang yg antre.

    Di pangkalan ojek tersebut ada papan yg menuliskan harga ojek untuk berbagai tujuan terdekat. Sehingga tawar-menawar jarang terjadi dan harga sudah pasti.

    Saya rasa ini sistem yg relatif masuk akal dan transparan bagi pangkalan ojek tradisional di perumahan. Bisa berlaku juga di pangkalan ojek kantoran. Sehingga “paguyuban ojek” benar2 bisa terwujud dan berfungsi.

  18. Artikelnya menarik tapi sedikit maksa 😀
    Lebih seru baca comen2nya dari yang intelek sampai yang masih belek. Penuh warna dan membuat artikel ini menjadi lebih menarik.

    Gak kecewa lah mampir di sini 😀

  19. Kalau harus ada yang disalahkan saya tidak mau menyalahkan Ojek Pangakalan maupun Rider Gojek… mereka sama-sama cari nafkah…

    Kita salahkan saja pemerintah…. Kalau pendidikan kita bagus, tidak akan ada tukang ojek yang tega memalak pelanggannya….

    Bingung mau komen apa lagi… Intinya, bubarkan dulu saja Indonesia… heuheuheu..

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.